Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha mendorong implementasi imbal dagang business to business (B to B) bisa makin gencar pada masa mendatang. Skema ini dinilai bisa mengakomodasi perdagangan dengan negara-negara potensial.
“Di tengah keterbatasan keuangan berbagai negara karena pandemi, saya usulkan harus diperbanyak. Terutama ke negara-negara Afrika yang menyediakan bahan baku untuk diolah,” kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, Kamis (29/7/2021).
Idealnya, aktivitas imbal dagang yang menguntungkan melibatkan pengiriman bahan baku dari negara mitra dan barang jadi dari Indonesia. Dengan demikian, kata Benny, Indonesia bisa mengolah bahan baku yang didatangkan tanpa harus mengeluarkan tambahan biaya impor.
“Contohnya dengan Mozambik, kita bisa impor kopi dari mereka dan mengolahnya. Sementara ke sana bisa kita tawarkan produk furnitur,” tambahnya.
Untuk itu, pelaku usaha dan pemerintah harus tepat mendata daftar produk yang memiliki prospek untuk imbal dagang. Benny mengaku mekanisme imbal dagang cukup fleksibel dan memberi jaminan pembayaran untuk barang yang diekspor.
Sementara itu, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan imbal dagang bukanlah skema baru yang dijajaki Indonesia. Tetapi dalam riwayatnya, skema ini sulit direalisasikan.
“Kalau skema pelaksanaannya tidak berubah, kemungkinan akan gagal,” kata dia.
Dia mengatakan hambatan terbesar dalam realisasi imbal dagang adalah mencari negara atau mitra yang bersedia menjual barang sesuai kebutuhan Indonesia dan sekaligus membeli barang yang Indonesia tawarkan.
“Selama ini sudah dicoba bermacam-macam skema, tetapi tidak kunjung berhasil,” kata Yose.