Bisnis.com, JAKARTA - Perekonomian secara global diproyeksikan akan tumbuh lebih baik pada 2021 dibandingkan dengan 2020, di tengah merebaknya varian Delta di sejumlah negara di dunia.
Berbagai lembaga seperti International Monetary Fund (IMF), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dan Bank Dunia (World Bank) ramai-ramai memprediksi ekonomi global semakin baik pada semester II/2021. Meski begitu, terdapat divergensi atau perbedaan antara negara-negara maju dan berkembang.
Contohnya saja, terdapat perbedaan revisi proyeksi ekonomi IMF, antara negara maju seperti Amerika Serikat (AS) serta China, dan negara berkembang seperti Indonesia dan Malaysia.
Untuk negara maju, IMF merevisi proyeksi pertumbuhan menjadi lebih optimistis yaitu AS dari 5,1 persen pada Januari menjadi 6,4 persen pada April, serta China dari 8,1 persen pada Januari menjadi 8,4 persen pada April.
Namun, proyeksi pertumbuhan justru dipangkas untuk negara seperti Malaysia dari 7 persen pada Januari turun ke 6,5 persen pada April, serta Indonesia turun dari 4,8 persen pada Januari menjadi 4,3 persen pada April.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan perbedaan tersebut mencerminkan perbedaan kecepatan pemulihan antara negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia.
“Artinya akan ada perbedaan kecepatan pemulihan yang makin lama makin lebar, antara negara maju dan berkembang, yang di antaranya disebabkan kemampuan dalam menanggulangi Covid-19. Termasuk di antaranya bagaimana percepatan dalam hal vaksinasi dan sebagainya,” jelas Faisal pada CORE Midyear Review 2021 secara virtual, Selasa (27/7/2021).
Salah satu risiko atas kesenjangan pertumbuhan ekonomi tersebut yaitu berbentuk kebijakan tapering off dari bank sentral AS, yang dapat menyebabkan kekhawatiran pasar, khususnya di negara berkembang (emerging markets), sehingga berujung pada keluarnya modal dari dalam negeri atau capital outflow.
Di sisi lain, Indonesia, salah satu negara berkembang, tengah menghadapi kenaikan kasus Covid-19 dan kebijakan PPKM level 4. Faisal menyebut potensi tekanan terhadap ekonomi bisa kembali terjadi karena kemampuan penanganan pandemi dalam negeri yang tidak berbeda dari negara-negara lain.
Oleh karena itu, Faisal menilai sekarang percepatan penanganan di sisi kesehatan menjadi lebih urgen. Terutama, untuk jangka waktu hingga akhir 2021.
“Karena kalau [penanganan kesehatan] tidak [dipercepat], dikhawatirkan dapat lebih memperumit dan mempersulit pemulihan ekonomi ke depan. Ketidakpastian akan semakin meningkat, apalagi kalau dihubungkan dengan [risiko] eksternal seperti tapering off, justru semakin menekan pemulihan ekonomi kita,” tutur Faisal.