Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waduh! Produksi Gula Disebut Bakal Turun Tahun Ini, Kenapa?

APTRI memprediksi adanya penurunan produksi gula nasional pada tahun ini akibat sejumlah faktor.
Pekerja menyiapkan gula pasir untuk disalurkan ke operasi pasar dan penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gudang Perum Bulog Sub-Divisi Regional Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (3/4/2020). ANTARA
Pekerja menyiapkan gula pasir untuk disalurkan ke operasi pasar dan penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gudang Perum Bulog Sub-Divisi Regional Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (3/4/2020). ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA - Rendahnya rata-rata rendemen tebu pada akhir Juli 2021 dipandang petani sebagai hal yang lumrah karena terjadi pada masa awal giling. Meski demikian, terdapat risiko produksi tahun ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro Samadikun menjelaskan rendemen rata-rata yang hanya mencapai 6,8 persen tidak terlepas dari fakta bahwa hujan di sentra produksi masih terjadi sampai Juli. Hal ini turut menjadi faktor yang menentukan tingkat kemasakan tebu.

“Rendemen pada awal memang cenderung rendah, terlebih hujan baru berhenti belum lama ini. Berbeda dengan tahun lalu, April sudah tidak ada hujan,” kata Soemitro, Senin (26/7/2021).

Selain faktor cuaca, Soemitro mengatakan terdapat sejumlah kondisi yang memperbesar risiko penurunan produksi. Dia mencatat bahwa tebu penanaman tahun ini cenderung memiliki kualitas rendah karena telah berhenti tumbuh sejak Mei sehingga ukurannya lebih rendah. Di samping itu, hama tikus menyerang hampir semua area penanaman komoditas tahunan tersebut.

“Kami juga kesulitan mencari pupuk, subsidi maupun nonsubsidi. Jadi perawatan tidak maksimal. Kemampuan pengelolaan petani juga turun karena pendapatan yang tidak memuaskan pada tahun lalu. Pada akhirnya banyak yang beralih menanam komoditas lain,” katanya.

Meski terdapat risiko penurunan produksi, Soemitro berpandangan hal ini tidak serta-merta menjadi legitimasi impor. Dia mengatakan ketersediaan gula memadai sampai akhir tahun dengan tambahan stok awal 2021 yang mencapai 800.000 ton dan gula impor yang juga mencapai 800.000 ton.

“Kalau produksi turun sampai menjadi 1,8 juta ton, setidaknya total pasokan tahun ini mencapai 3,4 juta ton. Jumlah tersebut sangat memadai,” katanya.

Terpisah, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan penghitungan neraca gula total bisa dilakukan saat masa giling tebu berakhir sekitar Oktober sampai November.

“Paling tidak Oktober harus dikalkulasi berapa produksi domestik dan apakah produksi ini mencukupi kebutuhan sampai tahun depan selama tidak ada giling, setidaknya sampai April 2022,” kata Khudori.

Dia juga memperkirakan rendemen yang rendah pada awal masa giling terjadi akibat proses penebangan yang dilakukan saat tebu belum masak optimal. Faktor hujan, juga turut berpengaruh terhadap kualitas tebu yang digiling.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper