Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Anggaran Perlinsos Naik Paling Besar, Ekonom Ini Justru Sebut Masih Kurang

Meskipun alokasi terbesar masih untuk kesehatan yaitu Rp214,95 triliun (naik dari Rp193,9 triliun), namun kenaikan terbesar terjadi untuk alokasi anggaran perlindungan sosial (perlinsos) yaitu naik Rp33,9 triliun atau dari Rp153,8 triliun menjadi Rp187,8 triliun.
Warga terdampak pandemi COVID-19 antre untuk mencairkan bantuan sosial Sahabat (Santunan Hadapi Bencana Tunai) di kantor Kelurahan Banjarmlati, Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (2/7/2020). Pemerintah daerah setempat membagikan bantuan sosial Sahabat berupa uang tunai Rp200 ribu per bulan bertempat di seluruh kantor kelurahan guna menghindari kerumunan pemicu penyebaran COVID-19./ANTARA FOTO-Prasetia Fauzani
Warga terdampak pandemi COVID-19 antre untuk mencairkan bantuan sosial Sahabat (Santunan Hadapi Bencana Tunai) di kantor Kelurahan Banjarmlati, Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (2/7/2020). Pemerintah daerah setempat membagikan bantuan sosial Sahabat berupa uang tunai Rp200 ribu per bulan bertempat di seluruh kantor kelurahan guna menghindari kerumunan pemicu penyebaran COVID-19./ANTARA FOTO-Prasetia Fauzani

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menaikkan anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 untuk membantu berjalannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali serta 15 daerah lainnya. 

Anggaran PEN ditambah menjadi Rp744,75 triliun, dari awalnya sebesar Rp699,43 triliun. Meskipun alokasi terbesar masih untuk kesehatan yaitu Rp214,95 triliun (naik dari Rp193,9 triliun), namun kenaikan terbesar terjadi untuk alokasi anggaran perlindungan sosial (perlinsos) yaitu naik Rp33,9 triliun atau dari Rp153,8 triliun menjadi Rp187,8 triliun.

Kendati demikian, Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai anggaran perlinsos yang ditambah itu masih terlalu kecil. Menurutnya, penambahan anggaran sebesar Rp33,9 triliun tersebut masih menjadikan dana perlinsos setara dengan 1,1 persen dari PDB. 

Dia mencontohkan Bantuan Sosial Tunai (BST) sebesar Rp300.000 untuk 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan bantuan beras 10 kilogram. Menurutnya, untuk satu keluarga miskin seharusnya dibutuhkan Rp1,4 juta. 

“Dilihat per bantuan tunai yang hanya [Rp.300.000] plus beras 10 kg untuk KPM jelas tidak cukup. Jika satu penduduk garis kemiskinannya Rp472.000 per bulan, satu keluarga miskin saja harus punya Rp1.4 juta rupiah agar tidak masuk kategori miskin. Kalau hanya dibantu [Rp300.000] per bulan jelas kurang sekali,” ungkap Bhima kepada Bisnis, Senin (19/7/2021). 

Sementara itu, Bhima menggarisbawahi terkait dengan vailiditas data penerima bantuan sosial (bansos) yang juga tumpang tindih. Dia menyebut ada dua hal yang menjadi penyebab masalah terkait dengan data penerima. 

Pertama, jumlah program yang meningkat mulai dari BST, PKH (Program Keluarga Harapan), bantuan sembako beras, sampai BLT (Bantuan Langsung Tunai) dana desa. Sementara, orang yang sudah menerima bansos tunai, tidak boleh terima BLT dana desa. Bhima menilai hal tersebut dapat menyebabkan sinkronisasi data di level mikro menjadi sangat sulit.

“Selain itu [kedua] masalah juga masih mengganjal soal dinamisnya pergerakan kemiskinan. Ada yang tadinya masuk kelas menengah, kemudian kena PPKM darurat dan jatuh di bawah garis kemiskinan. Data yang dinamis membutuhkan kecepatan dari pihak Kemensos untuk updating,” imbuhnya.  

Selesai pendataan, maka bantuan harus dicairkan. Bhima melihat bahwa permasalahan juga ada di dalam masalah pencairan dana bantuan. Hal tersebut terlihat dari rendahnya realisasi BLT dana desa yang masih baru cair 19.4 persen, meski sudah dianggarkan sejak awal tahun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan memutuskan untuk mengambil alih BLT dana desa sebesar Rp28,8 triliun dan program vaksinasi daerah sebesar Rp1,96 triliun. Untuk bantuan akan langsung disalurkan oleh pemerintah kepada KPM di desa, sementara pelaksanaan vaksinasi akan diambil alih oleh TNI, Polri, dan bidan dari BKKBN.

“Masalahnya soal teknis mulai dari terlambatnya aparatur desa mengajukan proposal, sampai kurangnya bimbingan dan penekanan dari pemerintah daerah,” pungkas Bhima.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper