Bisnis.com, JAKARTA—Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai pergerakan harga batu bara di semester II/2021 akan banyak dipengaruhi oleh permintaan dari China.
Menurutnya, jika permintaan batu bara dari China menurun, harga batu bara berpotensi tertekan. Permintaan tersebut tentunya akan dipengaruhi oleh pasokan dan harga batu bara domestik China.
“Kalau China membaik output-nya [produksi batu bara], harga domestik mereka mulai turun lagi. Dia [China] butuh impor untuk balance karena tingginya harga domestik mereka, lebih murah impor. Kalau harga domestik sudah mulai tidak terlalu tinggi, mungkin kebutuhan impor tidak sebesar yang sebelumnya,” katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.
Di sisi lain, Hendra menuturkan, secara statistik menunjukkan permintaan batu bara pada kuartal III/2021 biasanya mengalami penurunan, sedangkan dari sisi pasokan mengalami peningkatan karena telah memasuki periode musim panas atau kering.
Selain itu, permintaan batu bara juga akan dipengaruhi oleh kebijakan larangan impor batu bara Australia oleh pemerintah China.
“Kita tidak tahu sejauh mana hubungan China dan Australia. Kalau mereka baikan, mungkin bisa saja harga jadi tertekan. Jadi susah diproyeksi,” kata Hendra.
Adapun, harga batu bara acuan (HBA) tercatat menembus angka US$115,35 per ton pada Juli 2021, naik US$15,02 per ton dari posisi Juni 2021 yang mencapai US$100,33 per ton.
HBA Juli tersebut mencetak rekor tertinggi sejak Desember 2011 yang mencapai US$112,67 per ton.