Bisnis.com, JAKARTA — Aturan PPKM Darurat yang membatasi pembatasan operasional industri berorientasi ekspor hingga 50 persen diperkirakan bakal menurunkan kinerja manufaktur yang sempat merasakan momen pertumbuhan pada lima bulan pertama 2021.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk industri pengolahan selama kurun Januari—Mei 2021 mencapai US$66,98 miliar atau naik 31,09 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2020 dengan nilai US$51,09 miliar. Sejumlah produk unggulan ekspor memperlihatkan kenaikan, di antaranya minyak nabati yang tumbuh 62,30 persen, mesin atau peralatan listrik tumbuh 35,37 persen, dan produk olahan karet naik 44,82 persen.
Namun kenaikan kasus Covid-19 yang diikuti dengan pembatasan mobilitas dikhawatirkan bakal menghentikan laju ekspor. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan aktivitas produksi mulai menyesuaikan ketentuan pemerintah, sehingga berimbas pada biaya produksi.
“Beberapa dari kami menyikapi dengan mengubah cara produksi. Misal di garmen dan sepatu biasanya hanya 1 shift kapasitas penuh, kini 2 shift dengan kapasitas masing-masing 50 persen,” kata Benny, Rabu (14/7/2021).
Dia mengatakan pola produksi ini mengakibatkan naiknya beban lantaran pabrik harus merogoh kantong lebih dalam untuk biaya listrik. Menurut Benny, PLN mengenakan tarif beban puncak pada pukul 17.00 sampai 22.00 sehingga biaya bisa bertambah 50 persen.
“Hal ini otomatis menambah harga ekspor produk,” kata dia.
Baca Juga
Selain tantangan produksi, ketersediaan kontainer yang terbatas juga memaksa eksportir untuk memperbarui tanggal pengapalan yang tertera dalam letter of credit. Eskportir harus kembali bernegosiasi dengan pembeli mengenai waktu pengapalan dan Benny mengatakan proses ini membutuhkan biaya tambahan.
Benny mengemukakan kelancaran administrasi memainkan peran penting di tengah kebijakan pembatasan operasional. Dia mengatakan administrasi dokumen ekspor yang terhambat bisa menimbulkan konsekuensi besar terhadap aktivitas perdagangan.
“Kelancaran administrasi ini akan mendorong kelancaran barang. Kalau barang tidak lancar bisa memengaruhi penerimaan. Barang yang tidak terkirim sesuai jadwal sama artinya dengan hilangnya pemasukan,” kata Benny.
Lonjakan kasus Covid-19 di Tanah Air sendiri dinilai Benny bisa menimbulkan kekhawatiran pembeli akan pasokan barang yang dibutuhkan. Dalam situasi terburuk, importir bisa mengalihkan pembelian ke produsen lain.
“Jika mereka sangat membutuhkan produk kita, pembelian akan berlanjut. Namun jika tidak mendesak, mereka bisa mengalihkan order,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui, para eksportir juga tengah menghadapi kendala akibat gangguan sistem layanan melalui aplikasi CEISA Bea Cukai. Gangguan terjadi akibat pemutakhiran sistem dan berlangsung sejak pekan lalu.
Akibatnya, eksportir harus mengajukan permohonan dokumen terkait ekspor barang secara manual melalui Sistem Layanan Informasi Mandiri (SLIM). Pelaku usaha menyebutkan proses manual membuat proses ekspor mengalami keterlambatan dan menyebabkan penumpukan kontainer.
Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan proses perizinan yang dinaungi oleh Kementerian Perdagangan masih berjalan normal.
Sementara itu, Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Bea Cukai Kementerian Keuangan Syarif Hidayat mengatakan bahwa Bea Cukai tengah bekerja keras menangani gangguan sistem CEISA. Penanganan dilakukan terhadap pemulihan sistem serta penanganan di lapangan dengan penyediaan layanan manual yang masih terkendala secara sistem.
“Saat ini beberapa aplikasi dalam sistem CEISA secara bertahap telah kembali berjalan dan performanya tetap dimonitor. Kami harap sudah bisa normal secara penuh dalam waktu dekat,” kata Syarif.