Bisnis.com, JAKARTA – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan pemberian vaksin terhadap masyarakat, termasuk pekerja, merupakan tugas negara. Karena itu, berbagai strategi pemberian vaksin dan pembiayaan dinilai menjadi tanggung jawab pemerintah.
"Kami siap mengikuti vaksinasi, tetapi kami mempermasalahkan pemberian vaksin yang dilakukan dengan berbayar, baik Gotong Royong melalui perusahaan maupun individu," kata Presiden KSPI Said Iqbal, Senin (12/7/2021).
Said Iqbal mengatakan vaksinasi berbayar berisiko memunculkan komersialisasi jika direalisasikan. Rencana vaksin berbayar untuk individu sendiri ditunda oleh Kimia Farma selaku penyelenggara tunggal.
“Setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi terhadap konsumen yang dalam hal ini rakyat termasuk buruh yang menerima vaksin,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, dalam regulasi Kementerian Kesehatan disebutkan bahwa tarif Vaksin Gotong Royong adalah Rp321.660 per dosis untuk vaksin buatan Sinopharm.
Adapun tarif pelayanan dipatok di harga Rp117.910 per dosis. Terdapat beberapa alasan yang membuat timbulnya kekhawatiran KSPI bahwa Vaksin Gotong Royong atau vaksin berbayar akan menyebabkan komersialisasi.
Baca Juga
Pertama, berkaca dari pengetesan virus pada individu melalui tes PCR maupun Antigen yang cenderung mengikuti hukum pasar.
Ia mengatakan pengetesan sempat digratiskan pemerintah, tetapi kini mulai muncul kewajiban penyertaan bukti tes untuk perjalanan lintas daerah. Layanan pengetesan sendiri diberikan fasilitas kesehatan swasta maupun BUMN dengan harga bervariasi.
“Akhirnya ada semacam komersialiasi, dari yang awalnya digratiskan. Bahkan perusahaan yang awalnya mengratiskan rapid test bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri," kata dia.
Ia juga menyoroti kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan dan individu warga negara berbeda. Said memperkirakan jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10 persen dari total jumlah perusahaan di Indonesia.
Jumlah tersebut hanya mencakup 20 persen dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia. "Berarti hampir 90 persen dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80 persen dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar Vaksin Gotong Royong," tambahnya.
Selanjutnya, ia berpendapat tambahan beban Vaksin Gotong Royong merupakan hal yang hampir mustahil bisa dihadapi pelaku usaha di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan upah, dan lemahnya perekonomian yang berlanjut.
Dia mengatakan biaya Vaksin Gotong Royong akan memberatkan keuangan perusahaan dan berisiko mengorbankan kesejahteraan buruh.
“Intinya, KSPI mengharapkan kepada pemerintah agar pemberian vaksin untuk buruh dan setiap warga negara digratiskan,” kata dia.