Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) diharapkan dapat memperbaiki permasalahan desentralisasi fiskal yang terjadi di Indonesia sejak dimulainya otonomi daerah.
Pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan menilai bahwa hingga saat ini kemandirian fiskal di daerah masih buruk. Menurutnya, keuangan daerah juga masih memiliki tata kelola regulasi lokasi yang tidak kunjung membaik.
“Hal ini karena banyak sekali pengaruh-pengaruh dari Perda bermasalah,” jelas Djohermansyah pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja RUU HKPD Komisi XI DPR RI dengan pakar, Rabu (7/7/2021).
Menurut data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dimilikinya, Djohermansyah menyebut ketergantungan fiskal pemerintah daerah kepada pusat pada posisi tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19, masih tinggi sekali. Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya satu kabupaten saja yang dinilai sangat mandiri dalam urusan fiskal, yaitu Kabupaten Badung, Bali.
Untuk kategori mandiri, terdapat delapan provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur serta dua kota yang dinilai mandiri di sisi urusan fiskal yaitu Kota Tangerang Selatan dan Kota Surabaya.
Sementara itu, ada 26 provinsi yang dinilai menuju mandiri dan belum mandiri secara fiskal dari 34 provinsi di Indonesia. Sebanyak 18 provinsi dinilai menuju mandiri, dan 8 provinsi belum mandiri.
Baca Juga
“Untuk kabupaten/kota ada 36 dari 508 kabupaten/kota yang menuju mandiri. Lalu, 458 dari 497 kabupaten/kota belum mandiri. Jadi ini menunjukkan kita betul-betul tidak berhasil dalam desentralisasi fiskal kita. Kalau dibiarkan, daerah akan bertambah terus ketergantungannya. Kalau zaman [pandemi] Covid-19 ini bisa babak belur,” katanya kepada anggota Panja secara virtual.
Selain itu, Djohermansyah juga memaparkan sejumlah masalah lainnya yang perlu diperbaiki RUU HKPD terkait dengan masalah fiskal daerah. Di antaranya adalah pendapatan asli daerah (PAD) yang lebih kecil dibandingkan dengan belanja daerah, penerimaan pajak rendah bahkan berkurang, serta banyak program pemda tidak tepat sasaran dan berbiaya mahal dengan pinjaman terbatas.
Lalu, dana bagi hasil (DBH) fiskal kecil, serta disparitas atau kesenjangan wilayah ditambah terjadinya bencana alam dan non-alam.