Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hindari Kesalahan Tax Amnesty Terulang, Mantan Dirjen Pajak Sarankan Langkah Ini

Sebelum melakukan tax amnesty, pemerintah lebih tepat untuk memiliki data masif (big data) dalam bentuk bank data pajak. Itulah kenapa program tax amnesty dianggap kurang maksimal karena para pesertanya diduga mengisi harga kekayaannya tidak benar.
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Jum'at (31/3)./Antara-Atika Fauziyyah
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Jum'at (31/3)./Antara-Atika Fauziyyah

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah ingin menyisir para peserta pengampunan pajak (tax amnesty) yang belum mendeklarasikan seluruh asetnya pada program tersebut melalui revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Bukan hanya itu, mereka yang belum mengungkapkan seluruh penghasilannya dari 2016 sampai 2019 juga tidak luput dari sasaran. Dengan pola kerja yang hampir sama dengan tax amnesty, pemerintah menamakannya program peningkatan kepatuhan pajak, menyisipkan aturan pada pasal 37 revisi UU KUP.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan periode 2001-2006 Hadi Poernomo mengatakan bahwa sebelum melakukan itu, pemerintah lebih tepat untuk memiliki data masif (big data) dalam bentuk bank data pajak.

Itulah kenapa program tax amnesty dianggap kurang maksimal karena para pesertanya diduga mengisi harga kekayaannya tidak benar.

Saat itu, emerintah malah terlebih dulu membuat UU Tax Amnesty kemudian menerbitkan UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Pajak.

“Oleh karena itu, kami pada pasal 37 berpendapat sebelum dilaksanakan, bank data pajak harus lengkap dulu,” katanya pada rapat Panitia Kerja Rancangan UU KUP dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa, (6/7/2021).

Saat menjadi Dirjen Pajak, Hadi menjelaskan bahwa amanat big data tercetus melalui UU No. 19/2001 yang merupakan hasil konsultasi dengan Presiden Megawati Soekaroputri. Isinya meneruskan mandat pendiri Indonesia.

“Pertama adalah amandemen rahasia bank dan kedua kita harus punya big data. Pada 2001 belum ada big data tapi pajak sudah dimulai, yaitu namanya mengembangkan sistem informasi dan monitoring perpajakan yang terintegrasi dan online antar unit-unit terkait,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper