Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Indonesia Herman Juwono menilai pengampunan pajak melalui program Sunset Policy yang disiapkan oleh pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) dinilai tidak akan cukup mengerek kepatuhan wajib pajak.
Pasalnya, pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan, terutama dalam rangka meningkatkan kepatuhan. Menurut Herman, pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan oleh pemerintah di antaranya adalah mengimplementasikan reformasi perpajakan secara menyeluruh.
“Sunset Policy hanya salah satu [faktor untuk meningkatkan kepatuhan]. Masih banyak faktor lain salah satunya reformasi di internal Ditjen Pajak Kementerian Keuangan,” katanya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Menurutnya, pembenahan di internal otoritas pajak baik dari sisi sistem maupun administrasi harus dilakukan secara berkelanjutan.
Selain itu, pemerintah juga wajib menyetarakan fiskus atau pejabat pemerintah yang bertugas mengurus dan menarik pajak dengan wajib pajak. Dengan kata lain, antara pembayar pajak dan fiskus harus saling percaya dan kepatuhan terhadap ketentuan.
Sebab, acap kali sengketa terjadi karena adanya perbedaan persepsi atau pemahaman antara fiskus dan wajib pajak terkait dengan ketentuan serta konsep perpajakan.
Baca Juga
“Selain itu kepatuhan juga bisa ditingkatkan dengan adanya sanksi tanpa pandang bulu serta inklusi pajak di kaula dini,” kata Herman.
Adapun, skema sunset policy atau TA Jilid II akan memberikan tarif pajak yang relatif moderat, dengan skema penghapusan sanksi bagi wajib pajak peserta maupun yang bukan peserta pengampunan pajak jlid I.
Bisnis telah mengumpulkan informasi seputar masuknya isu 'siluman' tax amnesty ke dalam UU KUP. Ada tiga persoalan sebenarnya yang mendorong pemerintah cukup ngotot untuk menerapkan pengampunan pajak jilid II yang kemudian dikoreksi menjadi sunset policy.
Pertama, target realisitis pemerintah untuk menambal defisit atau recovery fiscal yang ditargetkan pada tahun 2023 sudah kembali ke masa sebelum pandemi atau di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Seperti diketahui, kinerja ekonomi selama 2020 dan kuartal I/2021, masih belum berjalan sesuai ekspektasi. Malah yang terjadi ada ancaman varian virus Corona yang kemudian direspons sejumlah negara dengan menerapkan lockdown secara ketat.
Singapura misalnya. Varian baru dan lockdown tentu merupakan pukulan telak bagi perekonomian. Ekspor dan impor akan lesu. Industri kembali berada di jalan buntu. Akibatnya, impian pemerintah untuk pemulihan ekonomi dan fiscal recovery terancam buyar.
Kedua, program pengampunan pajak jilid I belum optimal alias gagal. Selama sembilan bulan pelaksanaan pengampunan pajak, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri.
Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.