Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dinilai berpotensi menurunkan pertumbuhan konsumsi domestik, sehingga akan menghambat proses pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.
Macroeconomic Analyst Bank Danamon Irman Faiz mengatakan tarif PPN Indonesia saat ini memang berada sedikit di bawah rata-rata kawasan Asia yang berada pada level 12 persen, begitu juga dibandingkan dengan rata-rata tarif PPN dunia yang tercatat sekitar 16 persen.
Namun, beberapa negara di Asean memiliki tarif yang lebih rendah, misalnya Singapura dan Thailand pada level 7 persen. Menurutnya, hal ini mengindikasikan secara komparatif ruang peningkatan PPN dalam negeri masih ada.
Dia menyampaikan, berdasarkan teori ekonomi, jika tarif pajak dalam perekonomian dinaikkan, maka penerimaan pajak memang dapat meningkat. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah peningkatan tarif tepat dilakukan di tengah momentum pemulihan ekonomi.
Pasalnya, PPN merupakan pungutan yang dikenakan dalam proses produksi maupun distribusi yang dibebankan pada konsumen akhir atau pembeli. Dengan demikian, konsumen akhir akan menjadi pihak yang paling terdampak peningkatan tarif PPN.
“Tarif pajak dan konsumsi memiliki hubungan yang terbalik, di mana peningkatan tarif pajak dapat menurunkan konsumsi,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Bisnis, Sabtu (29/5/2021).
Baca Juga
Dia melanjutkan, berbagai penelitian terhadap negara berkembang menunjukkan bahwa peningkatan 1 persen tarif PPN dapat menurunkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,32 hingga 0,51 persen, dalam waktu dua sampai 3 tahun.
Menurutnya, dalam kondisi saat ini kehati-hatian sangat diperlukan karena dampak dari peningkatan tarif bisa menjadi lebih besar daripada di kondisi normal, apalagi kondisi ketidakpastian saat ini masih terbilang tinggi.
Bahkan, perekonomian diprediksi belum akan kembali pulih pada tahun depan, mempertimbangkan jadwal kedatangan vaksin gelombang terakhir pada kuartal II/2020.
“Jika tarif PPN meningkat tahun depan, hal ini akan menjadi risiko bagi konsumsi rumah tangga. Tak hanya itu, prospek investasi juga dapat terganggu karena konsumsi rumah tangga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi investasi,” jelasnya.
Untuk itu, dia mengatakan peningkatan tarif PPN pada masa pemulihan kurang tepat dilakukan, namun bukan tidak mungkin untuk diterapkan sebagai bentuk dari reformasi perpajakan dalam waktu jangka panjang.
Jika tarif PPN tetap harus meningkat pada tahun depan, alternatif solusi yang dapat diambil adalah menerapkan peningkatan tarif pada jenis barang yang cenderung lebih inelastis terhadap peningkatan harga seperti barang-barang primer atau sekunder.
“Dengan demikian, dampak kepada konsumsi akan lebih minimal dan risiko terhadap pemulihan lebih rendah,” tuturnya.