Bisnis.com, JAKARTA - Laporan terbaru dari Oxford Economics mengungkapkan bahwa meskipun sektor Agri food dapat menjadi penggerak utama bagi pemulihan ekonomi Indonesia pasca COVID-19, tapi paling rentan terhadap gangguan-gangguan yang ada di kawasan Asia Tenggara.
Hal itu meliputi risiko penawaran dan permintaan, risiko kebijakan fiskal, serta pandemi yang tak kunjung usai.
Direktur Eksekutif Food Industry Asia (FIA), Matt Kovac, mengatakan karena itu perlu adanya kebutuhan untuk memahami lanskap risiko saat ini dan yang akan datang, sebelum menerapkan langkah-langkah nyata untuk menghidupkan kembali ekonomi pasca COVID-19.
Kovac mengatakan, laporan tersebut menyoroti berbagai tantangan substansial jangka pendek dan panjang yang dihadapi oleh sektor agri-food di Indonesia, dan penting bagi para pembuat kebijakan untuk menyadari dan mengatasi risiko-risiko tersebut, mengingat besarnya skala kontribusi sektor ini terhadap lapangan pekerjaan dan PDB Indonesia.
Dengan adanya tantangan besar yang diproyeksikan untuk tahun 2021, sangatlah penting bagi Indonesia untuk tetap memperhatikan hal ini dengan berbagai kebijakan yang dapat berdampak pada industrinya.”
Sementara itu, James Lambert, Direktur Economic Consulting Asia untuk Oxford Economics menyampaikan, seiring dengan semakin kuatnya Indonesia untuk keluar dari pandemi, penting bagi para pembuat kebijakan untuk menciptakan kondisi yang paling kondusif bagi industri agri-food agar dapat berdiri kembali, serta merencanakan, merancang, dan mengomunikasikan setiap kebijakan fiskal dengan cermat.
Hal itu memungkinkan industri untuk dapat terus memberikan manfaat ekonomi yang signifikan seperti beberapa puluh tahun terakhir.”
Menurut pengamatan Lambert, penyesuaian fiskal dapat mencakup pengurangan pengeluaran publik atau peningkatan pendapatan pajak, yang dapat menimbulkan risiko bagi pemulihan sektor agri-food Indonesia, yang bahkan dapat berimbas pada ekonomi nasional yang lebih luas.
Menurut laporan The Economic Impact of Agri-Food Sector in South East Asia mengenai tantangan dan dampak ekonomi dari sektor agri-food pada tahun 2020, yang diinisiasikan oleh Food Industry Asia (FIA), sektor tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong pemulihan ekonomi Indonesia, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan ketersediaan pangan dengan harga yang
stabil.
Laporan tersebut pun menunjukkan bahwa pada tahun 2019, sektor agri-food di Indonesia memberikan kontribusi PDB sebesar USD 374 miliar, yang didorong oleh luasnya lanskap pertanian yang berkontribusi cukup besar terhadap pendapatan nasional dan lapangan pekerjaan.
Sektor agrifood jugalah yang mewujudkan separuh dari keseluruhan tenaga kerja dengan 63,4 juta lapangan pekerjaan, menjadikannya penghasil lapangan pekerjaan terpenting dalam perekonomian negara. Sektor tersebut juga telah menyumbang total pendapatan pajak sebesar USD42,7 miliar.
Laporan tersebut juga mencatat bahwa sektor agri-food tetap kokoh selama pandemi COVID-19, dengan pertumbuhan 2% pada tahun 2020, atau peningkatan terhadap kontribusi PDB sebesar USD 8,2 miliar. Namun, sektor ini diperkirakan akan menghadapi beberapa tantangan selama masa pemulihan ekonomi. Matriks dari laporan Economic Recovery menempatkan Indonesia dengan risiko pemulihan tertinggi di kawasan Asia Tenggara, melihat bagaimana negara tersebut sangat bergantung kepada sektor pariwisata untuk memulihkan kembali industri pangannya.
Laporan Fiscal Risk Assessment Framework juga menemukan fakta bahwa Indonesia termasuk yang paling berisiko di Asia dari penyesuaian fiskal pasca COVID-19, bahkan lebih dari Tiongkok, India, dan negara-negara Asia yang memiliki ekonomi dengan penghasilan tinggi lainnya. Dalam arti lain, respon terhadap fiskal yang disusun dengan buruk dapat berpotensi membahayakan pemulihan sektor agrifood, serta berdampak pada ketahanan pangan, pendapatan dan lapangan pekerjaan, dan peluang ekonomi secara keseluruhan.
Laporan ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengembangkan respon fiskal yang penuh pertimbangan dan tidak menghambat pemulihan industri agri-food. Tiga syarat yang harus dipenuhi antara lain memanfaatkan pendidikan untuk mempengaruhi perilaku; mendukung standar regulasi terhadap pajak; dan menjaga komunikasi yang konsisten dengan industri.