Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan menyebutkan tren kenaikan ekspor sepanjang 2021 tak hanya ditopang oleh kenaikan harga komoditas utama ekspor. Permintaan yang naik dibandingkan dengan tahun pertama pandemi turut mengerek volume ekspor Indonesia.
“Kalau melihat harga komoditas, memang ada kenaikan. Namun, kenaikan harga ini terjadi bukan karena produksi yang terbatas, melainkan karena permintaan yang naik. Jadi secara volume pun naik dibandingkan dengan base line 2020,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan pada Kamis (20/5/2021).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor pada April kembali naik 0,69 persen dibandingkan dengan Maret 2021 menjadi US$18,48 miliar. Nilai ekspor ini menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2011. Sementara itu, nilai ekspor nonmigas yang US$17,52 miliar pada April 2021 menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah.
Meski melanjutkan tren kenaikan nilai secara bulanan, data BPS juga memperlihatkan bahwa volume ekspor 10 golongan barang utama nonmigas menurun 3,85 persen. Secara keseluruhan, volume ekspor nonmigas turun 3,06 persen secara bulanan.
Penurunan ini berhasil diselamatkan oleh harga komoditas ekspor utama yang melanjutkan tren kenaikan. Beberapa komoditas tersebut mencakup minyak sawit yang naik 4,24 persen secara bulanan dan 76,5 persen secara tahunan, tembaga naik 3,74 persen secara bulanan dan 84,4 persen secara tahunan, dan emas yang naik 2,43 persen dibandingkan dengan Maret 2021.
Kasan mengemukakan pula bahwa ekspor RI berhasil mengamankan peluang pulihnya ekonomi negara-negara Asia Timur, Asean, dan Amerika Utara. Dia mengatakan kenaikan permintaan dari kawasan ini juga menjadi penyumbang kenaikan ekspor RI.
Baca Juga
“Impor China dari Indonesia memang turun pada April jika dibandingkan dengan Maret 2021. Namun kalau dibandingkan tahun lalu kenaikannya sampai 43 persen. Begitu pun di kawasan driver pertumbuhan lainnya, beberapa negara emerging market dan Timur Tengah juga prospektif. Kita harapkan penanganan Covid-19 di sana terus membaik,” kata Kasan.
Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro mengemukakan penurunan volume ekspor yang terjadi pada April tidak terlepas dari faktor siklus.
“Perlu dilihat bahwa ekspor sebulan sebelum Lebaran turun karena jumlah hari kerja yang sedikit pada April dan Mei. Jadi, ada faktor siklus,” kata Satria.
Selain itu, penurunan volume impor pada sejumlah komoditas dia sebut berhasil dikompensasi oleh kinerja produk lainnya.
Sebagai contoh, ekspor lemak dan minyak nabati (kode HS 15) mengalami penurunan nilai ekspor dari US$2,88 miliar pada Maret menjadi US$2,48 miliar pada April.
Penurunan nilai ini juga diikuti dengan turunnya volume dari 2,93 juta ton menjadi 2,44 juta ton. Pada saat yang sama, terdapat kenaikan nilai ekspor logam mulia dan perhiasan sebesar 39,47 persen meskipun secara volume turun 2,88 persen.
“Kenaikan harga komoditas seperti tembaga dan besi cukup mendukung. Apalagi komoditas ekspor Indonesia terdiversifikasi, dari minyak sawit sampai timah dan nikel. Volume atau harga yang turun dikompensasi oleh komoditas yang lain,” ujarnya.
Dia memprediksi situasi ini pula yang akan membuat Indonesia bisa menikmati tren surplus pada masa mendatang di tengah pemulihan ekonomi. Kenaikan harga komoditas global yang bakal tetap melampaui kenaikan impor yang mungkin dialami Indonesia seiring dengan meningkatnya geliat ekonomi domestik.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan penurunan volume ekspor di tengah kenaikan harga komoditas dan permintaan bisa dipicu oleh kondisi pasokan di dalam negeri. Dalam beberapa kasus, bukan tak mungkin ketersediaan di dalam negeri belum bisa mengimbangi naiknya permintaan.
“Memang ekspor banyak didorong oleh kenaikan harga, terutama komoditas. Volume yang naik sendiri terbatas, bahkan ada yang turun karena demand juga terbatas,” ucapnya.
Jika berkaca pada lonjakan harga komoditas yang terjadi usai Krisis Global 2008, Faisal mengatakan tren harga tinggi bisa bertahan sampai tiga tahun. Jika fenomena tersebut kembali terulang, dia memberi catatan agar Indonesia meningkatkan daya saing dari sisi harga dan kualitas agar bisa tetap menangkap peluang.
“Hal ini juga harus mencakup efisiensi dalam biaya produksi, logistik, dan juga dwelling time,” kata Faisal.