Bisnis.com, JAKARTA -- Pelaksanaan Automatic Exchange of Information atau AEoI masih jauh dari ekspektasi, meski pemerintah mengklaim telah mendapatkan informasi perpajakan dari wajib pajak (WP) yang menyimpan duit dan asetnya di luar negeri.
Belakangan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang semula cukup pede, justru kebingungan untuk menindaklanjuti data atau informasi perpajakan yang diperoleh dari ratusan yurisdiksi mitra.
Dirjen Pajak Suryo Utomo, dalam paparannya beberapa waktu lalu, mengungkapkan keluh kesahnya soal banyaknya tantangan untuk menindaklanjuti data AEoI.
Suryo mengeluhkan data yang diperoleh dari yurisdiksi mitra tidak dilengkapi NPWP, alamat lengkap atau rumah di luar negeri, hingga nama pemegang rekening tidak ditemukan.
Selain itu, menurutnya, data yang diperoleh oleh DJP juga hanya mencakup data keuangan. Pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau AEOI ini tak mencakup data properti dan investasi dalam bentuk mata uang kripto.
Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim sudah mengantongi banyak data keuangan sejak 2018 melalui Automatic Exchange of Information (AEoI). Dalam postingan Instagram-nya, Sri Mulyani mengaku telah menerima lebih dari 1,6 juta informasi financial account dari berbagai negara dengan nominal mencapai 246,6 miliar euro.
Baca Juga
Harusnya dengan nilai informasi keuangan yang sefantastis itu, otoritas pajak bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah tanpa harus susah-susah mengumpulkan informasi pajak dari awal. Selain itu cerita shortfall yang menjadi pekerjaan rumah, siapapun menteri atau dirjen pajaknya, perlahan atau pasti bisa segera ditangani.
Tetapi apa lacur, impian terkadang jauh lebih indah dari fakta di lapangan. Pasalnya, berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, data-data keuangan tersebut tak serta merta langsung bisa dikonversikan ke penerimaan pajak. Mereka kesulitan. Otoritas pajak terkesan menutup-nutupi berapa data yang telah diperoleh dan berapa duit yang berhasil diterima dari proses pertukaran informasi perpajakan tersebut.
Padahal tanpa ditutupi, publik sudah mafhum, ada atau tidaknya pandemi, ada atau tidaknya AEoI dan tetek bengeknya, penerimaan pajak tetap saja jauh dari ekspekstasi. Malah yang terjadi justru ada kecenderungan penurunan kinerja penerimaan pajak. Hal itu tampak dari angka semua indikator penerimaan pajak yang jeblok.
Paling gampang, tinggal melihat kinerja perbandingan penerimaan pajak dengan produk domestik bruto atau PDB (rasio pajak). Tak usah membagi rasio pajak berdasarkan defisnisi dalam arti sempit atau dalam arti luas. Mau pakai definisi apapun, kinerja rasio pajak Indonesia tertinggal dari negara manapun. Kalau merujuk data OECD, rasio pajak Indonesia bahkan terendah se-Asia Pasifik.
Sebagai perbandingan, tahun 2015 rasio pajak Indonesia pernah mencapai 11,6 persen (dibulatkan biar kelihatan besar), angka itu turun pada level 10,84 persen, kemudian 10,64 persen (2017). Pada tahun 2018, rasio pajak Indonesia agak sedikit naik menjadi 11,4 persen.
Akan tetapi perlu diingat, kenaikan rasio pajak pada tahun itu bukan karena usaha extra alias extra effort Ditjen Pajak, namun lebih disebabkan oleh terkereknya harga komoditas, terutama minyak yang waktu itu tembus di atas US$70 per barel. Rejeki nomplok.
Angka rasio pajak kembali anjlok di kisaran 10,69 persen pada tahun 2019 seiring dengan kembali turunnya harga komoditas minyak global. Tahun 2020, rasio pajak kembali amblas di bawah 10 persen atau hanya 8,91 persen. Ini mengonfirmasi bahwa selain pandemi Covid-19, struktur penerimaan pajak pemerintah memang bermasalah.
Di tengah kondisi yang kurang menentu, serta kebutuhan anggaran yang cukup besar untuk membiayai APBN. Sudah sewajarnya pemerintah mulai mengoptimalkan data AEOI yang konon mencapai miliaran Euro itu. Data yang sudah ada dikejar dan dioptimalkan untuk penerimaan pajak.
Selain itu, tansparansi juga diperlukan, agar uang pajak yang konon punya rakyat itu bisa dimonitor dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir elit atau korporasi tertentu.