Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah menerbitkan panduan penggunaan agregat alternatif dalam pengaspalan jalan. Namun, pengembangan teknologi konstruksi masih harus dikembangkan untuk menekan biaya produksi.
Direktur Pembangunan Jalan Kementerian PUPR Herry Vaza mengatakan bahwa pihaknya telah menerbitkan pedoman pengaspalan dengan tiga agregat alternatif, yakni skrap plastik, karet, dan slag baja. Walakin, pihaknya belum akan menggunakan agregat alternatif dalam pembukaan jalan baru.
"Pembangunan jalan [baru] ini agak steril, jadi belum sampai pada teknologi yang lebih spesifik. Umumnya kami buka jalan dan sebanyak mungkin memanfaatkan materi lokal," katanya kepada Bisnis, Jumat (16/4/2021).
Herry berujar beberapa alasan tidak digunakannya agregat alternatif adalah inefisiensi konstruksi dan tingginya biaya logistik. Adapun, kini pihaknya tidak lagi menggunakan skrap plastik sebagai agregat alternatif pengaspalan jalan.
Sementara itu, kementerian membatasi penggunaan slag baja sebagai agregat pengaspalan jalan di sekitar industri baja berkaitan. Pasalnya, berat volume slag baja membuat biaya logistik slag baja tinggi.
Di samping itu, kata Herry, jalan yang menggunakan slag baja sebagai agregat aspal memiliki daya tahan yang cukup tinggi.
"Kami [pernah] kerja sama dengan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. untuk memanfaatkan limbah itu, tapi karena ini berat, kalau dipakai untuk jalan nasional akan membebani kami [dari sisi biaya konstruksi]," ucapnya.
Adapun, agregat terakhir adalah karet alam. Herry mengatakan Kementerian PUPR secara rutin membeli karet alam sebagai agregat pengaspalan di Pulau Sumatra.
Pembelian karet alam tersebut merupakan salah satu strategi Kementerian PUPR untuk mengungkit harga karet nasional. Akan tetapi,penggunaan karet sebagai agregat pengaspalan hanya memberatkan biaya produksi pengaspalan pemerintah.
Pasalnya, jenis karet yang dibeli pemerintah merupakan jenis karet termahal, yakni lateks. Seperti diketahui, lateks merupakan karet dengan ketebalan paling tipis dan umum digunakan sebagai bahan baku sarung tangan karet medis.
"Sebenarnya karet itu [dalam pengaspalan saat ini] jumlahnya sangat kecil di dalam aspal, dan sebenarnya membebani biaya pengaspalan kalau kami jujur," ujarnya.
Herry menyatakan komposisi karet lateks dengan bahan lainnya dalam pengaspalan hanay 6-20 persen. Oleh karena itu, Herry menyatakan pihaknya saat ini sedang menunggu hasil penelitian Universitas Gajah Mada terkait teknologi pengaspalan agar dapat menggunakan karet jenis Standard Indonesian Ruber (SIR) 20.