Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Politisi PKS: RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan Belum Mendesak

Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Anis Byarwati menilai bahwa konten RUU PPSK berisi upaya untuk mengurangi independensi bank sentral.
Karyawan keluar dari pintu salah satu gedung Bank Indonesia di Jakarta, Senin, (20/1/2020).  Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan keluar dari pintu salah satu gedung Bank Indonesia di Jakarta, Senin, (20/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) telah disepakati untuk masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021. Namun, RUU tersebut memiliki catatan sehingga dinilai belum mendesak untuk disahkan tahun ini.

Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Anis Byarwati menilai bahwa konten RUU PPSK berisi upaya untuk mengurangi independensi bank sentral. Aturan tersebut akan merevisi sejumlah undang-undang terkait sektor keuangan, seperti UU Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Produk hukum tersebut akan meliputi pengaturan atau pembaruan regulasi di sektor pasar modal, perbankan, lembaga nonbank, lembaga keuangan lainnya hingga sektor keuangan digital.

“Kami pikir ini sangat berbahaya karena independensi tersebut menjadi syarat suatu kebijakan menjadi kredibel di pasar, baik di dalam maupun di luar negeri,” katanya melalui pesan instan, Minggu (21/3/2021).

Anis menjelaskan bahwa upaya mengotak-atik independensi bank sentral dapat berujung pada berbagai hal, terutama depresiasi rupiah. Ini berdampak buruk bagi perekonomian baik bagi pelaku industri maupun pemerintah dalam bentuk lonjakan cicilan utang maupun bunganya.

Selain itu, kerentanan depresiasi rupiah bakal meningkat karena masih tingginya porsi kepemilikan aset asing di dalam negeri baik dari pasar saham yaitu sekitar 45 persen maupun pasar obligasi sekitar 30 persen.

Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini melihat persoalan yang dihadapi oleh sektor keuangan Indonesia sekarang lebih pada rendahnya peranan sektor keuangan terhadap perekonomian nasional. Beberapa rasio sudah mengonfirmasi hal tersebut seperti rasio M2/PDB maupun rasio kredit terhadap PDB. Data-data tersebut tidak lebih dari 40 persen.

“Artinya peranan sektor keuangan di Indonesia sangat dangkal. Hal inilah yang menjadi penyebab daya saing ekonomi rendah. Banyak hal yang menyebabkan kondisi tersebut seperti penurunan bunga acuan direspon lambat oleh suku bunga perbankan hingga struktur pasar oligopoli. Hal-hal ini jauh dari persoalan yang diangkat oleh RUU ini,” paparnya.

Catatan lainnya terang Anis adalah revisi regulasi di saat kondisi tidak normal yakni pandemi bisa berdampak buruk terhadap persepsi pasar. Apalagi yang disasar adalah bank sentral.

“Selama ini, kami melihat bank sentral bekerja cukup baik. Tidak ada isu yang menonjol kecuali pada pergerakan nilai tukar yang masih cukup liar. Kami memandang bahwa persoalan kelembagaan sangat sensitif terutama bagi pihak asing,” ucapnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper