Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk mengecualikan limbah pada sisa pembakaran batu bara (fly ash and bottom ash/FABA) di PLTU dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan bahwa dikategorikannya FABA sebagai limbah B3 telah membebani operasional, tak hanya pelaku usaha batu bara tetapi juga industri pengguna batu bara lainnya.
"Kalau jadi limbah B3 itu protokol pengolahannya sangat ketat dan butuh waktu panjang dan akhirnya biaya besar juga, padahal FABA bisa dimanfaatkan," ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Senin (15/3/2021).
Dia mengatakan bahwa di banyak negara FABA telah terbukti tidak termasuk dalam limbah B3 dan pemanfaatannya cukup tinggi di sektor infrastruktur.
"Di Indonesia tingkat pemanfaatan fly ash itu cuma 1 persen, bottom ash 2 persen, sedangkan di banyak negara di dunia fly ash rata-rata 45 persen dan bottom ash sudah 88 persen. Jadi, kita rendah sekali," katanya.
Limbah FABA dihasilkan dari pembakaran batu bara pada fasilitas pembangkit listrik tenaga uap dan juga dihasilkan dari boiler atau tungku industri pada industri karet, pupuk, pertambangan, batu bara, makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, kimia dasar anorganik, pulp dan kertas, plastik, keramik, dan kelapa sawit dan turunannya.
Hendra menyebut ada ratusan perusahaan yang terdampak dengan masuknya FABA sebagai kategori limbah B3, dengan perkiraan FABA yang dihasilkan sekitar 10 juta–15 juta ton per tahun.
Dia pun berharap supaya tak hanya FABA dari PLTU yang mendapat pengecualian, tetapi juga FABA yang dihasilkan oleh industri non-PLTU dapat dikategorikan sebagai limbah non-B3.