Bisnis.com, JAKARTA — Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinilai akan mendorong pemanfaatan fly ash dan bottom ash (FABA) dari PLTU menjadi barang yang bernilai ekonomis.
Dalam regulasi baru tersebut, sisa pembakaran batu bara pada PLTU berupa FABA dikategorikan sebagai limbah bukan bahan berbahaya dan beracun (B3).
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana mengatakan bahwa selama ini FABA hanya ditimbun dan menjadi beban. Padahal di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, Rusia, Afrika, negara-negara Eropa, India, China, dan Korea Selatan, telah memanfaatkan FABA menjadi bahan baku pembangunan infrastruktur, industri cat dan semen, bahan baku pertanian, reklamasi lahan bekas tambang, dan keperluan lainnya.
"Melihat ini, kami yang tadinya anggap FABA sebagai beban, bisa mentransformasikan sebagai suatu berkah. Berkah untuk dimanfaatkan oleh semua pihak, termasuk nanti pada saatnya mungkin UMKM [usaha mikro, kecil, dan menengah]," ujar Rida dalam konferensi pers, Senin (15/3/2021).
Apalagi, FABA yang diproduksi dari PLTU terbilang cukup besar. Kementerian ESDM mencatat kebutuhan batu bara untuk PLTU pada 2019 mencapai 97 juta ton dengan FABA yang dihasilkan sekitar 10 persen atau 9,7 juta ton.
Ke depan FABA yang dihasilkan akan makin meningkat seiring meningkatnya kebutuhan batu bara. Kebutuhan batu bara diproyeksi mencapai 153 juta ton pada 2028 sehingga FABA yang dihasilkan diperkirakan mencapai 15,3 juta ton.
Kementerian ESDM mencatat hingga saat ini sudah ada 52 lokasi pembangkit yang telah memiliki izin pemanfaatan FABA dan enam lokasi sedang memproses perizinannya. Rida memperkirakan ke depan makin banyak pembangkit yang mengajukan izin pemanfaatan.
"Paling cepat pemanfaatan untuk tujuan konstruksi. Timbunan FABA semoga bisa segera dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur berupa jalan atau bangunan lainnya. Ini yang menjadi pekerjaan jangka pendek untuk segera diselesaikan dan kami sudah bicara dengan Kementerian PUPR," kata Rida.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa dengan adanya PP Nomor 22 Tahun 2021, pemerintah mengubah tata kelola pemanfaatan FABA dari sebelumnya dilarang menjadi diperbolehkan dengan pengawasan dan pembinaan.
"Bukan kami menafikan bahwa ada potensi FABA dari batu bara, tapi kami ubah tata kelolanya saja. Kalau sebelumnya dilarang, sekarang diperbolehkan, tapi diawasi dengan ketat dan dibina. Jadi, boleh dulu, kemudian kita awasi. Kalau kemudian ada masalah, tentunya akan dilakukan upaya-upaya penanggulangannya," jelas Ridwan.
Adapun, hasil uji karakteristik beracun TCLP dan LD-50 menunjukkan bahwa FABA yang dihasilkan PLTU memiliki konsentrasi zat pencemar lebih rendah dari yang dipersyaratkan pada PP Nomor 22 Tahun 2021. Selain itu, hasil uji kandungan radionuklida FABA PLTU juga menunjukkan di bawah yang dipersyaratkan.