Bisnis.com, JAKARTA – Efektivitas penataan bandara hub dan super hub dari agenda strategis holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pariwisata dan Pendukung dinilai perlu menyesuaikan dengan tren transportasi udara masa depan.
Pemerhati penerbangan Alvin Lie mengatakan penataan hub dan super hub harus realistis. Kondisi geografis Indonesia yang berdekatan dengan Australia dan Selandia Baru dinilai tak cocok untuk hub internasional. Penerbangan dari wilayah barat ke timur ataupun sebaliknya yang semula dilayani dari Singapura, kini beralih di Timur Tengah seperti Qatar atau Uni Emirat Arab.
“Kalau hub domestik fokus aja, apakah membutuhkan atau tidak harus melihat teknologi penerbangan, kebutuhan rute, atau direct flight. Dulu Jakarta itu kan super hub nasional, sehingga beban di Bandara Soekarno-Hatta, maka dibangun [direct flight point to point]. Hub-hub kota kecil ditampung di kota besar baru dilanjutkan terutama Indonesia Timur,” ujarnya, Jumat (12/3/2021).
Dia menyarankan penataan bandara domestik saat ini harus realistis dan jangan hanya berangan-angan dari data masa lalu tapi berorientasi ke masa depan sesuai dengan kebutuhan transportasi udara.
“Supaya kita nggak hanya euforia [hub dan super hub] tapi nggak sesuai dengan proyeksi masa depan,” imbuhnya.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto mendorong peningkatan konektivitas lewat pembentukan holding BUMN Pariwisata dan Pendukung. Terciptanya integrasi holding membuat penumpang terlayani dengan baik baik di bandara dan pesawat, tingkat ketepatan waktu maskapai juga tinggi, layanan hotel lebih baik.
Baca Juga
“Akan larinya ke sana [hub dan super hub] memang. Holding sendiri baru antara BUMN yang tergabung didalamnya. Sekarang sudah mulai tapi memang harus dikemas dalam bentuk AD/ART,” ujarnya, Jumat