Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian berkomitmen mempertahankan kesepakatan dalam kerja sama Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership (IE-CEPA) yang sejalan dengan hasil referendum Swiss pada 7 Maret 2021.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Eko S.A. Cahyanto mengatakan skema perjanjian perdagangan komprehensif IE-CEPA dinilai berpeluang untuk lebih meningkatkan akses pasar bagi produk industri Indonesia, termasuk produk sawit dan turunannya.
"Kami berpandangan bahwa IE-CEPA secara keseluruhan telah concluded pembahasannya oleh para pihak yakni Indonesia dan EFTA," katanya melalui siaran pers, Rabu (10/3/2021).
Menurut Eko, pada dasarnya Swiss tidak perlu khawatir terkait isu keberlangsungan produk sawit Indonesia dan turunannya mengingat telah diterapkannya Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Karena itu, Eko melanjutkan Swiss tidak seharusnya membuat syarat baru dalam bentuk apapun, seperti peraturan terkait keberlangsungan produk sawit dan turunannya asal Indonesia. Hal ini menanggapi adanya kampanye yang melawan masuknya produk sawit asal Indonesia dan turunannya di Swiss.
“Indonesia memiliki potensi besar untuk mengisi kebutuhan produk industri di Eropa, yang selama ini sebagian besar pemenuhan kebutuhan akan produk sawit dan turunannya berasal dari negara transit seperti Pantai Gading, Kepulauan Solomon, dan Malaysia,” kata Eko.
Baca Juga
Kemenperin akan terus mendorong ekspor produk sawit dan turunannya ke Swiss, langsung dari Indonesia sebagai negara produsen.
Adapun produk hilir sawit yang potensial untuk masuk ke pasar Uni Eropa, termasuk Swiss, antara lain adalah lemak padatan pangan (confectionary), personal wash (sabun, fatty acid, fatty alcohol, glycerin), hingga bahan bakar terbarukan (biodiesel FAME).
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan devisa ekspor dari produk sawit dan turunannya menyentuh US$22,97 miliar pada 2020.
“Sepanjang 2020, produksi produk sawit dan turunannya diproyeksi 51,6 juta ton. Bahkan, industri ini mendorong kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah terdalam, terluar, dan perbatasan, mengingat 40 persen dari total luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 5,72 juta hektar merupakan perkebunan rakyat,” paparnya.
Agus optimistis, industri produk sawit nasional dan turunannya akan mampu membangkitkan perekonomian nasional, khususnya di pandemi Covid-19, karena sektor ini menciptakan lapangan kerja bagi 16 juta orang.
Mengenai keberlanjutan industri produk sawit Indonesia hulu-hilir, Kemenperin pun terus berkomitmen memberikan dukungan pada program biodiesel 30 persen (B30) yang pada tahun ini memiliki target alokasi penyaluran 9,20 juta kiloliter.
Komitmen tersebut juga bertujuan menjaga stabilitas harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), melalui serapan produksi minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri.
Selain itu, Kemenperin mendukung program Peremajaan Sawit Rakyat/PSR (Replanting) melalui upaya mendorong penggunaan sarana produksi pertanian produksi dalam negeri, yang tentunya akan menggerakkan industri permesinan di tanah air.
“Dengan adanya program mandatory biodiesel dan PSR, maka struktur industri perkelapasawitan hulu-hilir Indonesia akan semakin mantap, sehingga industri ini akan semakin berkelanjutan di masa mendatang,” katanya.