Bisnis.com, JAKARTA — Pengembangan panas bumi atau geotermal memerlukan insentif khusus dari pemerintah agar bisa menjaga keekonomian proyek yang mengucurkan investasi lebih besar dibandingkan dengan energi fosil.
Pendiri Medco Group Arifin Panigoro mengatakan bahwa pengembangan panas bumi memiliki biaya investasi yang paling besar jika dibandingkan dengan energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya.
Menurutnya, pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi bisa lebih mahal 10 kali lipat dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas bumi yang hanya US$600 per megawatt (MW).
Hal itu, kata Arifin, membuat sejumlah investor berpikir ulang untuk mengucurkan investasi karena dari sisi bisnis juga diperlukan pengembalian return yang cepat agar memiliki tingkat keekonomian yang baik.
"Political decision pemerintah sangat diharapkan, insentif juga perlu support kayak geotermal kita ini hampir sama saja dengan batu bara dan minyak harusnya ada insentifnya, bisa dikasih harganya jangan disamakan, kasih premium untuk sekian lama investment. Ini jadi orang semangat di situ," katanya dalam acara Imagining Indonesia Energy Future, Selasa (9/3/2021).
Menurut Arifin, transisi energi mau tidak mau harus dilakukan karena semakin sulitnya mencari pendanaan untuk proyek-proyek energi fosil. Medco Group, katanya, akan lebih menggenjot sektor kelistrikan, terutama yang bersumber dari EBT.
Untuk aset yang dimiliki Medco saat ini, Arifin memaparkan bahwa kelompok usaha itu telah memiliki pembangkit listrik tenaga panas bumi Sarulla dengan kapasitas 330 megawatt (MW) dan tengah mengembangkan PLTP Blawan Ijen dengan kapasitas 110 MW. Selain itu, Medco memiliki aset EBT lainnya yakni PLTS (photovoltaic) di Sumbawa berkapasitas 20,6 megawatt peak (MWp) dan PLTS di Bali dengan kapasitas 50 MW.
"Bisa dikatakan kami ingin mendorong ini dari sisi kelistrikan dari Medco Power, khususnya lagi berubah maka perhatian ke EBT lebih banyak," ungkapnya.