Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan mengatakan salah satu pertimbangan pemerintah dalam menerbitkan aturan perizinan minuman beralkohol adalah untuk menjaga kearifan lokal.
Aturan tersebut tertuang dalam poin 31, 32, dan 33 pada lampiran III Perpres No. 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yang merupakan aturan turunan dari UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Namun, Ketiga poin tersebut telah dicabut oleh Presiden Joko Widodo atas masukan masyarakat, termasuk para tokoh agama.
Dalam beleid ini, disebutkan bahwa bidang usaha industri minuman keras yang mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan papua.
“Salah satu pertimbangan kenapa aturan ini untuk di provinsi itu saja, karena memang di daerah itu ada kearifan lokal. Dasar pertimbangannnya memperhatikan masukan dari Pemda dan masyarakat setempat,” katanya dalam konferensi pers, Selasa (2/3/2021).
Bahlil mencontohkan, Provinsi NTT memiliki minuman beralkohol jenis sopi yang didapatkan melalui proses pertanian masyarakat di sana, yang kemudian dikelola, bahkan menjadi tradisi bagi sebagian masyarakat setempat.
Baca Juga
Pemerintah memandang, kearifan lokal tersebut sebenarnya dapat diolah dan memiliki nilai ekonomis untuk dijadikan produk ekspor, yang pada akhirnya dapat ikut mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Selain NTT, Bali juga memiliki produk arak lokal yang sebenarnya memiliki kualitas ekspor. “Itu akan ekonomis kalau dibangun dalam bentuk industri, itulah kenapa dibilang memperhatikan kearifan lokal dan budaya setempat,” jelas Bahlil.
Meski demikian, aturan dalam Perpres No. 10/2021 terkait investasi di bidang alkohol tersebut menjadi tidak berlaku setelah dicabut oleh Presiden.