Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Riset dan Teknologi Bambang P. S. Brodjonegoro mengatakan pemerintah terus berupaya mengurangi ketergantungan impor alat kesehatan melalui sejumlah inovasi anak bangsa yakni ventilator dan alat tes cepat Covid-19.
"Upaya kita mengurangi ketergantungan impor alat kesehatan maupun obat berhasil dilakukan," katanya dalam acara virtual peringatan Satu Tahun Pandemi Covid-19, dikutip dari Antara, Selasa (2/3/2021).
Menurutnya, pada awal pandemi, terjadi begitu banyak impor alat tes cepat (rapid test) antibodi atau penapisan Covid-19. Ia menjelaskan karena kondisi pada saat itu bersifat mendesak sehingga kemungkinan tidak ada analisa atau penilaian terhadap kualitas dari alat tes cepat Covid-19 berbasis antibodi yang diimpor dari berbagai negara tersebut.
Sementara impor untuk alat tes antibodi, ventilator, termometer dan bahan baku obat untuk membuat vitamin, Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 yang dibentuk Kementerian Riset dan Teknologi pada Maret 2020 berupaya untuk menghasilkan produk riset dan inovasi untuk substitusi impor.
Saat itu, Indonesia mengimpor seluruh kebutuhan ventilator dari luar negeri sehingga menjadi persoalan tersendiri yang harus segera diatasi.
Untuk menjawab kebutuhan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor, Indonesia melalui Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 menghasilkan ventilator dan alat tes cepat berbasis antibodi buatan sendiri seperti RI-GHA, yang sudah dimanfaatkan di tengah masyarakat.
Baca Juga
Sejumlah ventilator sudah digunakan di tengah masyarakat seperti BPPT3S-LEN, Vent-I Origin, Ventilator Transport Covent-20 UI, dan Dharcov-23S.
Bahkan, ventilator tersebut sudah bisa dibeli secara langsung melalui e-catalog LKPP, yakni BPPT3S-LEN dengan harga Rp25 juta, Vent-I CPAP dengan harga Rp24 juta, dan Dharcov-23S dengan harga Rp78,5 juta.
Meskipun ada unsur yang mendesak untuk segera mencari cara untuk menangani Covid-19, semua proses penelitian dan pengembangan sampai hilirisasi produk riset dan inovasi tersebut tetap mengikuti standar dan prosedur yang berlaku yakni lolos uji dari Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), izin edar dari Kementerian Kesehatan, dan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Artinya kita tetap mengikuti kaidah ilmiah yang memang harus kita ikuti," tekannya.