Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha di dalam negeri masih mengeksplorasi peluang untuk meningkatkan ekspor di tengah besarnya potensi nilai yang bisa dicapai. Pasar alat kesehatan yang terbilang baru bagi Indonesia dan ketatnya persaingan membuat pelaku industri perlu menyiapkan strategi tersendiri.
“Untuk alat kesehatan seperti masker dan pakaian medis ini pasar yang baru. Sebelumnya bukan bagian dari keseharian memakainya. Dan ini peluang yang masih dipelajari dan perlu ditangkap,” kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja saat dihubungi, Minggu (14/2/2021).
Indonesia tercatat pernah mengalami krisis pasokan masker dan pakaian medis pada awal pandemi karena terbatasnya bahan baku. Namun kendala tersebut berhasil diurai industri di dalam negeri seiring peralihan produksi dan penyesuaian penggunaan bahan baku.
“Dulu ketika awal pandemi negara yang dengan cepat adopsi teknologi dan produksi bahan baku adalah China, 60 persen produksi polyester memang mereka yang memasok. Untuk produksi masker N95 pun mereka cepat sekali adaptasinya,” kata Jemmy.
Meski secara gramasi nilai dari masker dan pakaian medis tidak setinggi produk tekstil lainnya, Jemmy mengatakan ceruk peluang dari alat kesehatan tetaplah tinggi. Dia memberi contoh pada aksi ekspor masker kain oleh perusahaan Indonesia yang dilakukan selama pandemi. Jika merujuk data BPS, ekspor masker nonwoven pada 2020 mencapai US$74,09 juta.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menyebutkan potensi pasar untuk pakaian medis tidak hanya datang dari luar negeri, namun juga dari dalam negeri. Meski demikian, dia mengatakan produk alat pelindung diri yang dicari justru yang berbahan baku polypropylene. Bahan baku ini sendiri masih terbatas produksinya di dalam negeri.
Baca Juga
“Di dalam negeri kapasitas produksi polypropylene hanya 100.000 ton per tahun, tidak cukup untuk seluruh kebutuhan. Kalau kain dari tenun atau rajut berbahan polyester atau rayon sangat melimpah,” kata Redma.
Kapasitas produksi besar yang tidak disertai oleh serapan optimal di dalam negeri ini pun lantas membuat pelaku usaha memilih melakukan ekspor. Redma bahkan menyebutkan pasar di dalam negeri juga diisi pasokan impor.
“Permintaan di dalam negeri belum optimal, padahal di luar negeri sudah banyak yang menggunakan polyester dan rayon yang ditenun atau rajut,” kata dia.