Bisnis.com, JAKARTA - Sebagaimana diduga, pandemi telah menyebabkan kontraksi perekonomian Indonesia yang mencatat pertumbuhan minus 2,07% selama 2020. Rilis resmi Badan Pusat Statistik (BPS) 5 Februari 2021 mengonfirmasi resesi ekonomi tersebut.
Di sisi lain, sektor pertanian mampu tumbuh positif 1,75% pada 2020 atau selama pandemi karena produksi pertanian meningkat. Harga komoditas cukup bersahabat dan aspek resiliensi atau ketangguhan pertanian itu sendiri.
Pertumbuhan itu masih lebih rendah dari pertumbuhan pertanian pada 2019 sebesar 3,61%, walaupun kemarau ekstrem pada Juli—September 2019. Mirip saat krisis ekonomi Asia pada 1998, sektor pertanian sekali lagi telah menjadi bantalan (cushion) selama resesi ekonomi dan bahkan menjadi alternatif sumber mata pencaharian masyarakat.
Pada Q4/2020 sektor pertanian mencatat pertumbuhan positif bersama enam sektor lain, yaitu jasa kesehatan dan kegiatan sosial (16,54%), informasi dan komunikasi (10,91%), pengadaan air (4,98%), jasa keuangan dan asuransi (2,37%), jasa pendidikan (1,36%), dan real estat (1,25%).
Pangsa produk domestik bruto (PDB) pertanian naik dari 12,71% pada 2019 menjadi 13,71% pada 2020. Fenomena ini perlu diwaspadai seksama, karena hal tersebut akan memengaruhi arah transformasi struktural perekonomian Indonesia.
Menurut teori standar ekonomi pembangunan, semakin maju suatu bangsa maka pangsa pendapatan dari sektor pertanian akan semakin berkurang. Sementara itu, pangsa dari sektor industri manufaktur dan jasa akan semakin bertambah.
Baca Juga
Pada kondisi resesi atau krisis ekonomi, proses transformasi struktural perekonomian itu umumnya terganggu, terutama karena cukup banyak masyarakat yang menjadikan sektor pertanian sebagai the last resort untuk bertahan hidup.
Tenaga kerja sektor pertanian meningkat signifikan dari 36,71 juta (27,53% dari total angkatan kerja 133,36 juta orang) pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang (29,76% dari total angkatan kerja 138,22 juta orang) pada Agustus 2020.
Peningkatan ini menjadi tambahan beban sektor pertanian karena produktivitas tenaga kerjanya cukup rendah. Oleh karena itu, sektor pertanian wajib memanfaatkan perubahan teknologi dalam bidang produksi, panen dan pascapanen ke depan.
Di dalam sektor pertanian, hortikultura dan tanaman pangan mencatat pertumbuhan paling tinggi, yaitu 4,17% dan 2,11% pada 2020. Perkebunan mencatat pertumbuhan rendah 1,33% pada 2020, karena harga jual karet, sawit dan kopi cukup rendah.
Peternakan mencatat pertumbuhan negatif -0,33% karena harga daging ayam dan telur di tingkat peternak sangat rendah, bahkan sejak Ramadan dan Idulfitri 2020.
Kehutanan dan penebangan kayu juga mencatat pertumbuhan negatif -0,03% karena realisasi pemenuhan bahan baku industri penebangan kayu juga rendah. Perikanan mencatat pertumbuhan positif 0,73% meski persoalan logistik tersendat sejak awal pandemi.
Sumber-sumber pertumbuhan pertanian Indonesia lebih berupa akumulasi kapital, akumulasi tenaga kerja dan perubahan teknologi (Fahmi dkk, 2020). Faktor produktivitas total (total factor productivity/TFP) sangat rendah pada 15 tahun terakhir.
Padahal, perubahan teknologi pertanian pernah dicatat sejarah mampu melonjakkan produktivitas padi dan tanaman pangan lain, bahkan mengantar Indonesia mencapai swasembada beras pada 1980-an. Selama 20 tahun terakhir pertumbuhan TFP sektor pertanian justeru menunjukkan tren semakin menurun.
Pertanian Indonesia membutuhkan akumulasi kapital yang mampu mendorong perubahan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Dalam kaitan itu, beberapa hal perlu diperhatikan.
Pertama, kebijakan yang mampu memfasiltiasi perubahan teknologi, peningkatan kualitas benih dan input lain akan berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan positif pertanian. Intervensi kebijakan dalam menggerakkan sumber-sumber pertumbuhan sektor pertanian akan mampu menahan atau meredam dampak krisis ekonomi yang lebih buruk lagi.
Kedua, kebijakan untuk meningkatkan TFP wajib diupayakan, terutama dalam jangka menengah-panjang, seperti perbaikan kinerja badan penelitian dan pengembangan kementerian, penyempurnaan ekosistem inovasi yang melibatkan ABGC (academics, business, government and civil society) secara sinergis.
Berhubung perbaikan TFP perlu waktu lama, kebijakan yang mampu memfasilitasi investasi atau akumulasi kapital di sektor pertanian menjadi pilihan rasional dalam jangka pendek ke depan.
Ketiga, kebijakan di tingkat daerah yang menjadikan sektor pertanian sebagai basis atau penopang, terutama di Jawa dan Sumatera, sangat perlu diberdayakan. Keempat, perhatian khusus perlu diberikan pada subsektor perikanan, terutama dalam perbaikan rantai nilai dan sistem logistiknya.
Rendahnya nilai tambah subsektor perikanan selama ini, karena industri perikanan mengalami banyak kendala rendahnya bahan baku pasokan ikan. Langkah terobosan amat diperlukan, misalnya perbaikan dan reorientasi kebijakan tol laut, pembenahan insentif sistem muatan arus balik (dari luar Jawa), serta peningkatan ekspor langusng menggunakan kargo udara yang jauh lebih efisien.
Keempat, pengembangan sumber daya manusia pertanian yang mampu kompatibel dengan perubahan teknologi pertanian atau peningkatan TFP. Termasuk di dalamnya antara lain akses keuangan dan perbankan.