Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menerka Alasan Absennya 'Duit China' di SWF Indonesia

Alasan yang mungkin, Indonesia juga ingin mendiversifikasi portofolionya untuk mengurangi risiko investasi yang hanya ditumpuk oleh satu negara saja.
Sebelum ke UEA dan Arab Saudi, Menko Luhut dan Menteri BUMN Erick Thohir juga melakukan kunjungan kerja ke Tokyo, Jepang, untuk meminta dukungan bagi pembentukan SWF Indonesia. /ANTAR
Sebelum ke UEA dan Arab Saudi, Menko Luhut dan Menteri BUMN Erick Thohir juga melakukan kunjungan kerja ke Tokyo, Jepang, untuk meminta dukungan bagi pembentukan SWF Indonesia. /ANTAR

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia berada di jalur yang tepat untuk meluncurkan sovereign wealth fund (SWF) yang dinamakan Indonesia Investment Authority. Indonesia bahkan mendapatkan komitmen dari 50 entitas pengelola dana investasi dari seluruh dunia.

Namun, di dalam daftar tersebut, tidak ditemukan nama China. Indonesia Investment Authority (INA) akan dijadikan sebagai kendaraan untuk mendukung proyek ambisius Presiden Jokowi, mulai dari jalan tol, jembatan, bandara dan pelabuhan.

INA diharapkan dapat beroperasi pada kuartal pertama tahun ini dengan modal awal US$5 miliar atau sekitar Rp75 triliun. Dari total tersebut, pemerintah mengalirkan penyertaan modal negara sebesar Rp15 triliun, sementara Rp60 miliar berasal dari pengalihan ekuitas dan aset perusahaan milik negara.

Indonesia menargetkan untuk mengumpulkan dana US$20 miliar, yang akan digunakan untuk menopang perekonomian Tanah Air senilai US$1 triliun.

Lima entitas pengelola dana asing diketahui telah memiliki komitmen tegas atau lunak untuk menginvestasikan total US$9,8 miliar di INA. Tidak secuil pun ditemukan kehadiran uang dari China.

Kevin O'Rourke, penulis buletin Reformasi yang fokus membahas Indonesia, menilai hal ini telah menimbulkan kecurigaan bahwa Indonesia berusaha menghindari investasi dari ekonomi terbesar kedua di dunia itu karena kekhawatiran bahwa Beijing dapat akhirnya menegaskan kendali atas infrastruktur utama Indonesia.

Meskipun tidak pernah diakui, namun dia mencurigai ada alasan kuat untuk menjaga aktivitas infrastruktur di bawah kepemilikan negara. Ada adalah ketakutan laten bahwa proyek-proyek kritis akan berada di bawah kepemilikan dan kendali China.

“Bagaimanapun, kepemilikan swasta atas aset menghadapi keraguan, terutama untuk infrastruktur, terutama mengingat sebagian besar modal swasta yang tersedia untuk proyek-proyek semacam itu adalah dari luar negeri,” katanya dalam buletin tersebut seperti dilansir South China Morning Post.

Japan Bank for International Cooperation (JBIC) telah memberikan komitmen sebesar US$4 miliar kepada INA, dan US International Development Finance Corporation akan membenamkan investasi senilai US$2 miliar. Keduanya memimpin daftar investor asing INA.

Caisse de Depot et Placement du Quebec Kanada diharapkan menginvestasikan US$2 miliar dalam proyek konstruksi jalan tol, sementara Algemene Pensioen Groep dari Belanda dan bank Australia Macquarie Investment memiliki komitmen lunak masing-masing senilai US$1,5 miliar dan US$300 juta.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia juga telah melakukan pendekatan kepada Abu Dhabi Investment Authority, meskipun belum ada komitmen investasi yang dibuat.

Setelah INA terbentuk sepenuhnya, investor akan diberikan pilihan untuk berinvestasi ke dalam 'dana induk' atau 'dana tematik' yang memungkinkan mereka untuk berinvestasi dalam industri atau proyek tertentu.

Menurut Badan Penanaman Modal Indonesia (BKPM), China adalah investor asing terbesar kedua di Indonesia pada tahun 2020 dengan total investasi sebesar US$4,8 miliar, jauh di belakang Singapura yang memberikan US$9,8 miliar.

Hong Kong dan Jepang adalah investor terbesar ketiga dan keempat di negara itu, masing-masing sebesar US$3,5 miliar dan US$2,6 miliar, kata BKPM.

Dari 2015 hingga kuartal ketiga 2020, investasi China di Indonesia naik 559 persen, dan mencakup 10.083 proyek, mulai dari pekerjaan infrastruktur hingga operasi pertambangan.

Esther Sri Astuti, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan banyaknya proyek investasi yang sudah dimiliki China di Indonesia adalah salah satu alasan mengapa China belum didekati untuk berinvestasi di INA.

"Indonesia juga ingin mendiversifikasi portofolionya untuk mengurangi risiko dan mengumpulkan lebih banyak investasi dengan mendekati negara lain,” katanya.

“Sentimen anti China di Indonesia juga tetap besar, sehingga membuat pemerintah melirik negara selain China.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper