Bisnis.com, JAKARTA - Aturan baru Kementerian Keuangan No. 6/PMK 3 tahun 2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pulsa, Kartu Perdana, Token Listrik dan Voucher menimbulkan polemik. Akar permasalahannya ada dua, yakni kecurigaan publik bahwa pemerintah sedang gencar mencari sumber penerimaan pajak dan kurang pekanya pemerintah terhadap kondisi tekanan ekonomi masyarakat selama pandemi.
Pemerintah dalam keterangan publik hanya menitikberatkan pada penjelasan kurangnya komunikasi yang diterima oleh masyarakat dan tidak ada dampak aturan baru pada kenaikan harga produk baik pulsa, kartu perdana, maupun token listrik.
Setelah membaca dengan cermat isi aturan, khususnya pada bagian PPN pulsa dan kartu perdana, terdapat hal yang sebenarnya cukup positif. Pasal 4 dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) menyebutkan bahwa pemungutan pajak intinya hanya pada level distributor kedua.
Selama ini panjangnya rantai distribusi perdagangan pulsa dan kartu perdana dari jasa penyelenggara/operator telekomunikasi ke distributor, menurut pemerintah, bisa mencapai 5—6 rantai distributor. Dengan penyederhanaan, administrasi pemungutan pajak menjadi ringkas dan memberikan kepastian hukum bagi distributor kecil meski soal pajak PPN faktanya tidak berubah, tarifnya tetap 10% per transaksi dan menjadi beban konsumen.
Pemberlakuan PPN untuk produk seperti pulsa dan kartu perdana memang bukan hal baru. Selama ini masyarakat atau konsumen juga sudah membayar PPN 10% yang masuk dalam setiap harga pembelian produk jasa telekomunikasi. Namun dengan adanya aturan baru ini sebenarnya publik sedang berharap lebih.
Penyederhanaan aturan sebaiknya diikuti oleh stimulus berupa keringanan tarif PPN atas jasa telekomunikasi atau bahkan pengecualian PPN untuk pulsa dan kartu perdana misalnya. Tujuannya agar keuntungan dari adanya aturan pajak tidak hanya dirasakan bagi para distributor tapi juga masyarakat.
Baca Juga
Jika penjelasan pemerintah hanya berhenti pada penyederhanaan mekanisme perpajakan dan tidak mengubah harga ke tingkat konsumen akhir, tentu belum cukup memuaskan. Dalam situasi saat ini, regulasi baru yang ditunggu sebaiknya tidak sekedar persoalan administrasi teknis tapi bersifat stimulus untuk pemulihan ekonomi. Toh, pemerintah sudah dibekali UU No. 2/2020 yang memberikan mandat luar biasa untuk mengubah regulasi dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi selama masa pandemi.
Wajar apabila publik bertanya, apakah ini berkaitan dengan strategi pemerintah untuk menambal defisit anggaran? Kemudian target penerimaan PPN dan PPnBM sebesar Rp518,5 triliun pada 2021 apakah dengan cara meningkatkan optimalisasi sumber dari transaksi pulsa dan kartu perdana? Regulasi yang keluar tanpa disertai stimulus menimbulkan tanda tanya besar.
Sementara itu, jumlah masyarakat yang aktif menggunakan internet semakin bertambah, yaitu mencapai 175,4 juta orang berdasarkan laporan Indonesian Digital Report 2020. Hasil temuan Bank Indonesia menambahkan bahwa perputaran uang di 4 marketplace terbesar mencapai Rp276,8 triliun sepanjang 2020, belum termasuk putaran uang transaksi jual beli online yang menggunakan sosial media, angkanya jauh lebih besar.
Namun, fakta bahwa biaya jasa internet di Indonesia salah satu yang termahal di Asia Tenggara perlu dicermati. Dibandingkan dengan kecepatan internet yang ada diperingkat 121 dari 139 negara menurut Speedtest, konsumen harus membayar lebih mahal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Tentu ini menjadi tantangan untuk transformasi digital yang merata di Tanah Air.
Selain itu, upaya pemerintah memberikan bantuan subsidi kuota internet kepada para siswa dan tenaga pendidik dinilai belum cukup. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) cukup menyedot kantung orang tua siswa. Bantuan kuota internet cukup terlambat diberikan pada September 2020, padahal sekolah sudah menerapkan PJJ sejak awal pandemi masuk ke Indonesia.
Pelaku usaha UMKM yang bisa bertahan juga membutuhkan internet di tengah omzet yang terkontraksi. Salah satu stimulus di Malaysia dalam paket Penjana nampaknya perlu menjadi pembelajaran.
Pemerintah Malaysia tidak saja memberikan paket internet gratis untuk siswa belajar online tapi juga paket internet untuk usaha produktif. Perusahaan jasa telekomunikasi juga diberikan insentif untuk pengembangan infrastruktur di daerah yang belum optimal. Arah digitalisasi yang jelas menjadi salah satu faktor kenapa IMF mengganjar Malaysia dengan outlook pertumbuhan ekonomi 7% pada 2021.
Bagi UMKM yang cepat beradaptasi dengan menggelar jualan di marketplace justru sebagian kebanjiran order saat mobilitas penduduk rendah. Namun jumlah UMKM yang berjualan online di Indonesia juga tidak banyak, hanya 16%. Hambatan untuk go digital terletak pada akses internet, termasuk soal biaya pembelian pulsa.
Bagaimana dengan pelaku UMKM yang saat ini berjumlah setidaknya 64,2 juta unit usaha yang mengharapkan subsidi internet gratis? Oleh karena itu, keluarnya peraturan teknis PPN pulsa dan kartu perdana sebaiknya direvisi kembali dengan menimbang beberapa masukan seperti insentif penangguhan PPN 10% atau setidaknya mengurangi tarif PPN dalam rangka pemulihan daya beli masyarakat.