Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyebut saat ini tengah fokus mempelajari industri vape dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Hal itu lantaran meski baru diterapkan penerimaan cukainya memiliki tren yang positif.
Kepala Seksi Tarif Cukai dan Harga Dasar I Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Putu Eko Prasetio mengatakan sebenarnya arah kebijakan cukai HPTL masih belum jelas karena banyak perdebatan akan produk tersebut. Pasalnya, meski sejumlah hasil kajian menunjukkan konsumsi HPTL lebih aman dibanding rokok, belum ada rekomendasi resmi dari Kementerian Kesehatan.
"Kami senang mengikuti kajian tentang HPTL karena rekomendasi resmi yang menyatakan HPTL sebagai less harmful product belum ada sedangkan kami memandang perlu serius karena cukup menjanjikam dari segi penerimaan," katanya dalam diskusi virtual, Kamis (4/2/2021).
Putu mengemukakan saat ini pemberlakuan ketentuan cukai HPTL berbeda dengan rokok konvensional. Pada HPTL, tidak ada penggolongan pabrikan serta pengenaan tarif sebesar 57% dari harga jual eceran.
Pemerintah juga menetapkan dan mengatur harga jual eceran minimum serta ukuran kemasan ecerannya. Selain itu, produk HPTL tidak termasuk objek pajak rokok yang saat ini berlaku untuk rokok konvensional.
"Hal itu untuk memenuhi tujuan pengendalian konsumsi, di mana juga menjadi dasar penghitungan cukainya," ujarnya.
Baca Juga
Putu mengatakan realisasi penerimaan cukai HPTL yang baru diterapkan pada 2018 tercatat Rp99 miliar. Pada 2019 relaisasi meningkat 331,31 persen menjadi Rp427 miliar.
Adapun pada tahun lalu, meski pandemi Covid-19 meruntuhkan daya beli masyarakat tetapi realisasi penerimaan cukai HPTL tetap tumbuh 59,2 persen menjadi Rp680 miliar. Mayoritas atau 88,9 persen penerimaan disumbang oleh ekstrak dan essence tembakau (EET) cair atau vape yang mencapai Rp604,9 miliar.
Pemerintah mencatat pada tahun lalu ada sekitar 220 pabrik HPTL telah memesan pita cukai. Pabrik tersebut kebanyakan berasal dari Bandung, Jawa Barat atau berbeda dibandingkan tingkat persebaran produsen rokok konvensional yang mayoritas berada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kepala Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah pun mendesak pemerintah agar segera membuat regulasi terkait dengan produk HTPL. Dia menyebut sejumlah negara seperti Inggris sudah memiliki regulasi yang mengatur mekanisme terkait penggunaan serta sanksi dalam rokok elektrik.
Regulasi menjadi penting, lanjut Trubus, guna meminimalisir produk ilegal yang marak terjadi di Indonesia. Hal itu sesuai hasil survei konsumen dalam temuan Multi Country Vaping Research oleh Health Diplomats dan kantar di enam negara termasuk Indonesia.
"Kewaspadaan terhadap produk ilegal cukup tinggi di kalangan responden Indonesia. Sebanyak 50 persen responden percaya kandungan ilegal vape beresiko untuk kesehatan di mana angka itu lebih tinggi dibanding rerata enam negara lainnya yang hanya 42 persen. Sementara 90 persen responden setuju rokok elektrik harus diregulasi dan disediakan untuk perokok," katanya.