Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi China akan tumbuh 7,9 persen tahun ini, mengikuti ekspansi 2,3 persen pada 2020.
Angka tersebut turun dari proyeksi pada Oktober 2020 sebesar 8,2 persen, dilatarbelakangi perseteruan sektor teknologi dengan Amerika Serikat dan risiko keuangan domestik.
Setelahnya, pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu akan turun secara bertahap menjadi 5,2 persen pada 2025. Adapun, China telah menetapkan tujuan ambisius untuk melipatgandakan produk domestik bruto pada 2035 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 4,7 persen hingga 5 persen selama 15 tahun ke depan.
Menurut IMF, China sangat perlu mengambil langkah-langkah untuk menahan risiko stabilitas keuangan seiring dengan pemulihan ekonomi.
Tindakan bantuan virus yang berpotensi menyimpang harus dihapuskan secara bertahap. Selain itu, penangguhan pembayaran kembali untuk peminjam dan aturan pinjaman bermasalah yang dilonggarkan berisiko meningkatkan moral hazard. Hal itu berpotensi merusak kemajuan dalam memperkuat transparansi dan tata kelola bank.
IMF juga menyatakan tingkat utang naik selama pandemi, terutama di sektor swasta, sementara kualitas kredit kemungkinan memburuk karena aturan yang lebih longgar. Tekanan keuangan pada bank-bank kecil dan beberapa pemerintah daerah kemungkinan besar meningkat karena utang melambung ketika pendapatan melambat.
Baca Juga
"Apa yang kami lihat adalah pertumbuhan yang belum seimbang seperti yang kami inginkan. Pertumbuhan masih sangat bergantung pada dukungan publik, yakni dalam bentuk investasi infrastruktur publik yang lebih tradisional. Yang tertinggal adalah konsumsi," kata Helge Berger, Kepala Misi IMF untuk China, dilansir Bloomberg, Senin (18/1/2021).
IMF merekomendasikan China untuk mengalihkan kebijakan fiskalnya dari belanja infrastruktur ke arah dukungan rumah tangga dan penguatan jaring pengaman sosial.
"Membangun sistem keamanan sosial yang andal dan efektif dengan mengirimkan transfer [uang tunai] ke rumah tangga berpenghasilan rendah selama kemerosotan ekonomi akan memberikan dukungan berdampak tinggi bagi pemulihan,” kata IMF dalam laporannya.
Langkah itu juga akan membuat pertumbuhan lebih tangguh dengan mengurangi tingkat tabungan rumah tangga yang tinggi dan menghidupkan kembali penyeimbangan ekonomi ke arah konsumsi swasta dalam jangka menengah.
Di sisi lain kebijakan moneter harus tetap akomodatif untuk membawa inflasi kembali ke tingkat yang berkelanjutan dan mencegah pengetatan kondisi keuangan yang berlebihan. Kerangka regulasi dan pengawasan, termasuk kerangka kebijakan makroprudensial dan peraturan pinjaman online, juga harus diperkuat untuk menjaga dari potensi risiko.
IMF memperkirakan utang pemerintah diperkirakan naik menjadi 92 persen dari PDB, dan mencapai 113 persen pada 2025 di bawah skenario dasar IMF.
Dalam pernyataan kebijakan terbarunya, bank sentral China mengisyaratkan akan lebih memperhatikan pencegahan risiko dan menstabilkan tingkat utang dalam perekonomian pada 2021.
Bank Rakyat China berusaha untuk menghindari perubahan tiba-tiba dalam kebijakan moneter sambil mempertahankan dukungan yang cukup untuk pemulihan ekonomi.
Menurut laporan IMF, otoritas China paling khawatir dengan risiko eksternal, dan mengatakan pandemi adalah risiko paling menonjol terhadap pertumbuhan pada 2021. Pihak berwenang mengharapkan leverage akan stabil pada tahun ini, dan mengatakan risiko keuangan dapat dikelola.