Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah disarankan supaya tetap mempertimbangkan aspek perlindungan petani dalam menentukan kebijakan perdagangan komoditas pangan, baik yang menyangkut pembatasan maupun liberalisasi.
Pegiat Komite Pendayagunaan Petani dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengatakan bahwa langkah untuk membuka keran impor pangan tanpa larangan atau pembatasan (lartas) harus berangkat dari tujuan awal pengembangan komoditas terkait di dalam negeri. Jika cita-cita swasembada masih dikejar, kebijakan perdagangan yang selaras pun perlu mengiringi.
“Contohnya, di kedelai yang produksinya cenderung turun meski swasembada digaungkan sejak puluhan tahun lalu. Hal ini terjadi karena impor bebas dan tidak ada proteksi pada harga di petani sehingga minat menanam pun rendah,” kata Khudori saat dihubungi Bisnis, Rabu (6/1/2021).
Khudori mengatakan bahwa pemerintah harus bijak memilah komoditas apa yang layak dilindungi dari banjir impor maupun yang dibebaskan impornya. Dalam hal ini, dia menyoroti lartas pada bawang putih yang justru kerap memicu gejolak harga dan pasokan di konsumen, padahal lebih dari 90 persen pengadaan komoditas ini dipasok melalui impor.
“Untuk komoditas yang dependensi impornya tinggi, memang lartas ini membuka peluang terjadinya moral hazard mulai dari permainan izin sampai kuota yang dimonopoli. Di sisi lain, kebijakan wajib tanam pun tidak berdampak signifikan terhadap kapasitas produksi,” ujarnya.
Khudori pun mengusulkan agar ada pemberlakuan tarif yang bersifat fleksibel demi menjamin perlindungan terhadap petani sekaligus memberi ruang bagi konsumen untuk memperoleh produk. Tarif yang disesuaikan dengan kondisi harga komoditas di level global, menurutnya, bisa menjadi mekanisme yang ampuh untuk mencegah penurunan harga yang signifikan di tingkat petani.
Baca Juga
“Misalnya, pemerintah ingin mengejar swasembada kedelai, kebijakan impornya pun harus seirama. Ketika harga global tinggi tarif turun dan sebaliknya. Dengan demikian cita-cita swasembada bisa tetap berjalan dan harga di konsumen tetap terjaga,” tuturnya.
Khudori menjelaskan bahwa sejumlah komoditas pangan utama masih memiliki prospek pengembangan di dalam negeri sehingga impornya tetap perlu dibatasi, contohnya adalah padi dan jagung.
Sementara itu, untuk gula, meskipun terdapat upaya untuk meningkatkan produksi, hambatan utama dalam pengembangannya adalah mekanisme perlindungan harga yang tak tersedia. Hal inilah yang membuat harga gula lokal kerap anjlok saat impor dilakukan.