Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Desember 2020 mengalami inflasi sebesar 0,45 persen. Secara tahun kalender (year to date/ytd) dan tahunan, tingkat inflasi tercatat sebesar 1,68 persen.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa kondisi ini mengambarkan lemahnya permintaan akibat daya beli masyarakat yang terdampak daya beli.
“Apalagi dilihat dari inflasi inti yang jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Hal ini dikonfirmasi oleh data-data lain seperti misalnya kenaikan jumlah pengangguran,” katanya saat dihubungi, Senin (4/1/2021).
Yusuf menjelaskan bahwa meski begitu secara Month on Month (MoM) terjadi perbaikan dengan naiknya inflasi. Faktor pemicunya adalah mulai dilonggarkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). “Artinya pelonggaran PSBB juga akhirnya ikut mendorong permintaan ke level yang lebih tinggi,” jelasnya.
Menurut Rendi, inflasi yang berada di angka 1 persen sebenarnya sudah relatif baik sebab pada pertengahan tahun lalu angkanya masih lebih rendah. Padahal, angka IHK yang sebesar 1,68 merupakan yang terendah sejak 2004 atau BPS melaporkan inflasi inti.
“Namun dengan realisasi PEN [pemulihan ekonomi nasional] khususnya bantuan sosial dan UMKM yang cepat, akhirnya bisa menahan agar daya beli masyarakat khususnya untuk kelas menengah-bawah tidak terporosok lebih dalam,” ucapnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, Yusuf menuturkan inflasi seringkali selaras dengan kinerja pertumbuhan ekonomi. Dengan proyeksi pertumbuhan lebih tinggi, maka proyeksi inflasi juga akan ikut tergerek.
Namun, dia mengingatkan ada faktor yang perlu dicermati yakni bagaimana daya beli masyarakat bisa mengimbangi kenaikan inflasi. Inflasi seperti harga pangan, perlu diperhatikan pemerintah.
“Di samping itu, rencana kenaikan cukai rokok juga berpeluang memengaruhi dinamika inflasi di tahun ini. Inilah yang kemudian perlu dimitigasi melalui beragam bantuan kompensasi seperti misalnya bantuan langsung tunai,” terangnya.