Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mempertimbangkan untuk melakukan substitusi pembangkit listrik tenaga uap yang sudah berusia tua dengan pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan. Opsi ini menjadi salah satu strategi untuk mengakselerasi pembangkit EBT.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris mengatakan bahwa salah satu PLTU yang berpotensi untuk diganti adalah PLTU Suralaya.
PLTU yang memiliki tujuh unit pembangkit dengan kapasitas total 3,4 gigawatt (GW) itu merupakan salah satu PLTU tertua dan terbesar di Indonesia.
"Mengonversi pembangkit yang sudah tua, seperti PLTU Suralaya. Sekarang umurnya 36 tahun, 4 tahun ke depan sudah 40 tahun. Kalau masih dipertahankan dampak ke lingkungannya, cost production," ujar Harris dalam sebuah webinar, Senin (14/12/2020).
Menurutnya, dalam draf RUPTL PLN 2021—2030 terdapat empat unit pembangkit PLTU Suralaya dengan total kapasitas 1,6 GW akan dipensiunkan pada 2028, yakni unit 1 dan 2 (2 x 400 MW) yang beroperasi sejak 1984, serta unit 3 dan 4 (2 x 400 MW) yang beroperasi sejak 1989.
Total kapasitas PLTU 1,6 GW tersebut berpotensi dapat digantikan dengan 1,6 GW pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), 1,6 GW pembangkit listrik tenaga air (PLTA), atau dengan 7,74 GW pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan 3,097 GW baterai.
Dalam materi paparan Harris, konversi PLTU Suralaya ke pembangkit EBT menghadapi sejumlah kendala.
Beberapa di antaranya adalah phase out pembangkit tidak bisa dipercepat karena pembangkit unit 1 dan unit 2 diagunkan hingga 2025 dan saat ini, proyek PLTU Suralaya unit 9 dan 10 (2 x 1.000 MW) masih berjalan.