Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) mengungkapkan perlu ada hitungan bisnis bersama antara perusahaan pelayaran dengan eksportir terkait kelangkaan kontainer ekspor. Sementara itu, pemerintah pada posisi yang lebih pasif.
Asisten Deputi Bidang Logistik Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Erwin Raza menuturkan guna mencari solusi kelangkaan kontainer harus diselesaikan secara bisnis ke bisnis atau BtoB. Oleh karena itu, pemerintah ada pada posisi pasif.
"Reposisi kontainer masuk ke Indonesia ini menurut saya semua pihak terkait harus duduk bersama, karena akan menyangkut hitung-hitungan bisnis antara penyedia kapal dan pengguna yang melakukan ekspor," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (9/12/2020).
Lebih lanjut, menurutnya langkah kompromi bersama ini perlu didukung informasi data dan peta di pelabuhan negara mana saja kontainer tersedia, dan berapa banyak jumlah kontainer yang dapat ditarik.
Namun, kebutuhan data informasi ini terangnya, belum tersedia secara lengkap posisi dan kondisi kontainer terutama yang ada di dalam negeri. Adapun data keberadaan kontainer dan pelabuhannya pun harus mengecek masing-masing negara.
"Menurut saya posisi pemerintah hanya sebagai pihak yang menyaksikan kesepakatan tersebut," imbuhnya.
Baca Juga
Selain itu, Erwin menilai upaya reposisi kontainer atau memindahkan kontainer kosong ke Indonesia sebagai solusi kelangkaannya tidak serta merta dapat diberikan subsidi oleh pemerintah. Pasalnya, dia mengkhawatirkan jika disubsidi dapat mencederai perjanjian dagang internasional.
"Subsidi untuk masalah tersebut, saya tidak begitu paham. Selain itu, perlu dikaji secara mendalam apakah pemberian subsidi dapat melanggar ketentuan WTO atau tidak," terangnya.
Perkara relaksasi lain terangnya, seperti pembebasan biaya bongkar muat kontainer kosong di dalam negeri pun belum dapat dilakukan. Pasalnya, Erwin masih sanksi relaksasi pembebasan biaya bongkar muat belum tentu berdampak signifikan terhadap penurunan biaya angkut (freight) yang dibebankan kepada eksportir.
Saat ini, di tengah perdagangan global yang belum pulih akibat pandemi Covid-19, dunia justru dikejutkan oleh kabar kekurangan peti kemas. Kelangkaan ini mengerek harga pembelian peti kemas baru dan tarif sewa hingga 50 persen, mengganggu lalu lintas pelabuhan, menimbulkan biaya tambahan, dan memperlambat pengapalan menjelang liburan.
Lonjakan ekspor China dan permintaan konsumen yang kuat di Amerika Serikat membantu menjelaskan keketatan pasokan kontainer.
Dilansir Bloomberg, Senin (9/11/2020), perusahaan pelayaran besar, seperti Hapag-Lloyd AG, berusaha keras mereposisi kontainer berukuran 40 kaki dari pelabuhan-pelabuhan yang kurang sibuk. Direktur Logistik Peti Kemas Global Hapag-Lloyd Nico Hecker menjulukinya sebagai momen ‘angsa hitam’.
Perusahaan angkutan laut Jerman itu mengalami kenaikan permintaan kontainer 40 kaki terkuat setelah mengalami penurunan permintaan terdalam yang pernah ada akibat pandemi.
“Kontainer harus kembali ke China secepat mungkin untuk mengantisipasi permintaan yang kuat pada kuartal IV/2020,” kata Hecker di situs web perusahaan.
Berdasarkan data Container xChange, platform online yang berbasis di Hamburg, Jerman, indeks ketersediaan kontainer 0,04 khusus untuk kontainer 40 kaki di Los Angeles, sedangkan di Shanghai 0,22. Pada skala nol hingga 1, garis pemisah antara kelebihan dan kekurangan adalah 0,5.
Menurut Direktur Pemasaran Container xChange Florian Frese, sekitar 35 juta kontainer saat ini digunakan secara global, membuat sekitar 170 juta perjalanan penuh selama setahun. Sekitar 55 juta dari perjalanan itu mengangkut kontainer kosong dalam perjalanan kembali atau saat perusahaan pelayaran mengikuti permintaan.
Prediksi buruk bahwa perdagangan global akan runtuh tahun ini mendorong operator membatalkan pelayaran untuk menjaga tarif angkut. Perkiraan itu terbukti terlalu pesimistis. Pengamat industri sekarang mengatakan pemulihan tajam pada semester II/2020 dapat berarti volume kontainer tahun ini berakhir tidak jauh dari level yang dicapai pada 2019.
“Saya tidak memiliki kontainer bekas untuk dijual selama tiga atau empat pekan ini,” kata Direktur Pelaksana Budget Shipping Containers di Birmingham, Chris Osborne.
Kelangkaan saat ini berarti importir menghadapi waktu tunggu barang yang lebih lama dan mungkin membayar biaya tambahan untuk mengamankan kontainer.
“Makin menguntungkan jalur China-AS, makin banyak operator yang menerima insentif untuk mengalihkan kontainer dari jalur lain, meningkatkan harga pengiriman di pasar sekunder, ”kata Eytan Buchman, Kepala Pemasaran Freightos, pasar pengiriman online, yang berbasis di Hong Kong.
Menurutnya, secara historis, ini telah menjadi pendorong tarif intra-Asia yang lebih tinggi karena kontainer cadangan yang berlokasi di Asia dialihkan ke rute Transpasifik.
Perusahaan pelayaran memiliki sekitar setengah dari kontainer dunia dan sisanya dimiliki oleh lessor, termasuk Triton International Ltd. yang berbasis di Hamilton, Bermuda, yang sahamnya terdaftar di AS dan melonjak 34% pada kuartal III/2020. Saham Textainer Group Holdings Ltd. dan CAI International Inc., keduanya lessor peti kemas yang berbasis di San Francisco, melonjak 73% dan 65%.
“Kami mendengar dari pelanggan bahwa kekurangan peti kemas yang cukup signifikan akan terjadi setidaknya sampai Tahun Baru Imlek [2021],” ujar CEO Triton Brian Sondey.
Triton memesan kontainer baru senilai US$350 juta untuk mengantisipasi permintaan selama beberapa bulan pertama 2021.
Penerima manfaat dari lonjakan permintaan tersebut adalah pabrikan China yang mendominasi pasar peti kemas baru global. Harga jual kontainer kini meningkat menjadi sekitar US$2.500 dari tahun lalu sekitar US$1.600 per unit.