Bisnis.com, JAKARTA — Pertamina Energy Institute memproyeksikan kebutuhan bahan bakar minyak dan liquefied petroleum gas berpotensi mengalami perlambatan atau penurunan seiring dengan terjadinya disrupsi karena transisi energi atau diversifikasi energi.
PEI membuat tiga skenario untuk memberi pandangan kondisi energi ke depan, yaitu business as usual, market driven, dan green transition.
Dalam skenario market driven yang mengasumsikan penetrasi transisi energi pada tingkat moderat, kebutuhan BBM jenis bensin diperkirakan turun menjadi 36 juta kiloliter (kl) pada 2050.
Sementara itu, pada skenario green transition dengan penetrasi transisi energi tinggi, kebutuhan bensin diperkirakan hanya mencapai 9 juta kl pada 2050.
Proyeksi tersebut jauh berkurang dari proyeksi pada skenario business as usual yang memperkirakan kebutuhan bensin pada 2050 dapat mencapai 75 juta kl. Adapun, skenario business as usual ini mengasumsikan tidak ada perubahan signifikan terhadap upaya transisi energi maupun diversifikasi energi.
"Kebutuhan BBM gasoline berpotensi mengalami perlambatan atau penurunan disebabkan oleh digunakannya kendaraan listrik dan biofuel," ujar Vice President Pertamina Energy Institute Hery Haerudin dalam webinar Pertamina Energy Webinar 2020—Energizing The Energy Transition, Selasa (8/12/2020).
Baca Juga
Demikian pula dengan kebutuhan LPG diperkirakan hanya mencapai 7 juta ton—9 juta pada 2050. Kebutuhan LPG mengalami perlambatan akibat disrupsi penggunaan dimetil ether (DME) sebagai subtitusi LPG, penggunaan jaringan gas, dan kompor induksi.
Adapun, menurut analisis PEI, kebutuhan solar (gasoil) diperkirakan mencapai 17 juta kl—32 juta kl pada 2050. Untuk kebutuhan BBM jenis avtur diperkirakan mencapai sekitar 11 juta kl pada 2050.
"Potensi surplus terjadi di gasoil [solar] dan avtur yang disebabkan demand yang lebih kecil dari rencana suplai. Suplai meningkat seiring dengan beroperasinya RDMP [refinery development master plan] dan GRR [grass root refinery]," kata Hery.
Dengan memperhatikan potensi surplus solar dan avtur, Hery menilai produksi solar dan avtur bisa didorong untuk dikonversi ke bensin atau mengarah pada produk-produk petrokimia.
Sementara itu, produksi minyak Indonesia diproyeksikan terus mengalami penurunan dari 745.000 barel per hari (bph) menjadi 125.000 bph pada 2050, sedangkan produksi gas diproyeksikan mengalami penurunan dari 7,2 miliar standar kaki kubik per hari pada 2019 menjadi 1,5 miliar standar kaki kubik per hari pada 2050.