Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Sosial Juliari Peter Batubara akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19.
Dalam kasus ini, KPK menduga Juliari menerima Rp17 miliar dari korupsi bansos sembako yang ditujukan untuk keluarga miskin yang terdampak akibat wabah virus Corona.
Kasus ini menuai banyak perhatian publik mulai dari masyarakat hingga kalangan ekonom.
Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri dan Chatib Basri yang juga mantan menteri keuangan ikut berkomentar.
Ekonom Indef Faisal Basri menuturkan bahwa dirinya telah mengingatkan pemerintah agar tidak mengunakan paket sembako untuk membantu masyarakat miskin.
Menurutnya, bantuan tunai jauh lebih baik. Lewat akun Twitter resminya, dia pun membagikan tulisannya terkait dengan penjelasan mengapa pemerintah seharusnya memilih bantuan tunai daripada bantuan paket sembako.
Baca Juga
"Pertama, kebutuhan setiap keluarga berbeda-beda," tegas Faisal dalam tulisannya.
Menurutnya, beras dan gula tidak cocok untuk penderita diabetes. Sementara itu, keluarga yang memiliki bayi atau anak balita bisa membeli susu jika diberikan uang tunai.
"Penerima lainnya lebih leluasa memilih barang yang hendak dibelinya sesuai kebutuhan," katanya.
Keleluasaan memilih sirna karena isi paket sembako sama untuk seluruh penerima bantuan.
Menurut teori mikroekonomi, pilihan yang lebih banyak akan memberikan kepuasan lebih tinggi ketimpang bantuan barang.
Kedua, uang tunai bisa dibelanjakan di warung tetangga atau di pasar rakyat/ tradisional, sehingga perputaran uang di kalangan pengusaha kecil, mikro, dan ultra-mikro bertambah secara signifikan, menambah panjang nafas mereka yang sudah tersengal-sengal diterpa wabah pandemik COVID-19.
"Maslahat yang diterima mereka lebih merata ketimbang lewat pengadaan terpusat," ujarnya.
Ketiga, pengadaan sembako yang terpusat membutuhkan ongkos tambahan seperti untuk transportasi, pengemasan, petugas yang terlibat, serta beragam biaya administrasi dan pelaporan.
Akibatnya, lanjut Faisal, penerima tidak memperoleh penuh haknya dan tidak sebanyak dana yang dialokasikan.
Chatib Basri, yang kini juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT Bank Mandiri Tbk., mengatakan hal serupa.
"Soal sembako dan BLT. Ini saya sampaikan lagi bulan lalu. BLT lebih baik daripada sembako," tegasnya di akun Twitter-nya @ChatibBasri, Minggu (6/12/2020).
Sebelumnya, dia mengungkapkan bansos dalam bentuk sembako selama ini tidak seefektif bantuan langsung tunai (BLT) yang bisa langsung berdampak ke daya beli masyarakat.
Menurutnya, bentuk bansos yang paling efektif adalah pemberian BLT, karena di saat sekarang yang paling dibutuhkan masyarakat kelas menengah ke bawah adalah uang.
"Dia [masyarakat menengah ke bawah] butuh uang, jadi dia bisa nentuin beli apa. Uang paling efektif dan yang paling gampang gunakan medium uang," katanya tak lama ini.
Kasus korupsi di Kementerian Sosial ini berasal dari adanya pengadaan barang berupa bansos dalam rangka penanganan Covid-19.
Adapun, pengadaan barang itu berupa paket sembako di Kementerian Sosial pada 2020 dengan nilai Rp5,9 triliun dengan 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak dua periode.
Sebagai catatan, Kementerian Sosial menerima lebih dari separuh total anggaran PEN yang terkait dengan bantuan sosial.
Dari total anggaran PEN Rp 204,95 triliun TA 2020, Kementarian Sosial menerima Rp 127,2 triliun.
Anggaran tersebut dibagi ke dalam enam program, yakni Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp37,40 triliun, program kartu sembako/BPNT sebesar Rp43,60 triliun, program bansos sembako Jabodetabek senilai Rp6,8 triliun.
Kemudian, bantuan sosial tunai non Jabodetabek sebesar Rp32,40 triliun, program beras bagi Kelompok Penerima Manfaat (KPM) PKH dan bantuan sosial tunai bagi KPM program kartu sembako/BPNT Non PKH masing-masing sekitar Rp4,5 triliun.