Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Sosial Juliari Peter Batubara telah ditahan Komisi Pemberantas Korupsi karena korupsi dalam paket bantuan sosial yang diterima masyarakat.
Agar peristiwa serupa tidak kembali terulang, pengawasan yang ketat menjadi salah satu upaya yang harus dilakukan namun efektivitas penyaluran tetap terjaga dengan baik sehingga pemulihan daya beli masyarakat tidak terhambat.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira, program bansos mestinya memilih mekanisme yang minim risiko penyelewengan, yakni dengan menyalurkan bantuan dalam bentuk uang kas yang relatif mudah diawasi.
Saat ini pemerintah melalui Kementerian Sosial masih menerapkan penyaluran dalam bentuk barang yang menjadi celah bagi perilaku moral hazard.
"Melalui cash transfer, kecil kemungkinan dana bantuannya disunat karena langsung sampai ke penerima akhir. Selain itu, semua catatan dan rekaman penyaluran tercatat di bank. Itu akan lebih efektif," kata Bhima kepada Bisnis.com, Minggu (6/12/2020).
Secara substansial pun, lanjutnya, penyaluran bantuan dalam bentuk barang juga masih perlu dipertanyakan. Sebab, bantuan yang dikirim belum tentu sesuai dengan keperluan masyarakat penerima.
Baca Juga
Menurutnya, problematika penyaluran bansos dalam bentuk barang seharusnya menjadi hal utama yang menjadi perhatian pemerintah untuk dibenahi.
Pada praktiknya, kata Bhima, perihal validasi data serta evaluasi setelah penyaluran bansos dilakukan juga masih lemah. Sejauh ini, belum ada laporan mengenai progres spesifik yang menjadi indikator bahwa bansos dalam bentuk barang berpengaruh positif bagi daya beli masyarakat.
"Ini problematis memang. Andaikata pun masyarakat memang memerlukan bansos sembako, proses pengadaan barang dan jasanya mesti transparan dan akuntabel karena rawan," jelasnya.
Ke depannya, celah-celah dalam program bansos yang bisa disalahgunakan berpotensi menciptakan potential loss yang besar. Selisih yang muncul akibat korupsi disebut bakal memperlambat pemulihan daya beli masyarakat.
Dengan menyalurkan bantuan dalam bentuk uang kas yang mudah terawasi, dampak berkelanjutan dari penyalahgunaan dana diharapkan tidak kian merugikan masyarakat, pemerintah, maupun pelaku usaha yang memerlukan program tersebut untuk mendongkrak daya beli di tengah pandemi Covid-19.
Program penyaluran dana bansos pun tidak lagi menjadi hal yang dilematis setelah dalam pelaksanaannya terjadi moral hazard yang menjerat Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang melakukan tindak pidana suap senilai Rp17 miliar.
Meskipun penyaluran dana bansos dengan anggaran superbesar tersebut tercatat paling tinggi, yakni Rp112 triliun atau 87,44 persen dari total anggaran per November 2020, tetapi kerawanan untuk terjadinya korupsi tetap tidak dapat terhindarkan.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono menilai sudah tidak ada hal yang salah dari mekanisme penyaluran bansos, baik uang kas atau pun barang. Pasalnya, progres penyaluran bansos tidak bisa dikatakan buruk.
Sebagaimana diketahui, tiga program bansos, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), program Bansos Tunai untuk Peserta Program Sembako/BPNT Non-PKH, dan Bansos Beras (BSB) telah selesai dilaksanakan.
Perinciannya, bansos PKH menargetkan 10 juta Keluarga Penerimaan Manfaat (KPM) dengan aggaran Rp 36,8 triliun; bansos uang tunai untuk Peserta Program Sembako Non-PKH menjangkau 9 juta KPM dengan anggaran Rp 4,5 triliun.
Kemudian, bansos Beras (BSB) dengan jangkauan 10 juta KPM dengan pagu Rp 5,26 triliun, telah tersalurkan semua sebanyak 450.000 ton beras medium.
"Secara program, penyaluran melalui baik itu uang kas maupun barang sudah baik karena masing-masing memang diperlukan. Dengan kata lain, dari sisi program sudah tidak ada yang salah. Hanya dalam pelaksanaannya kita tidak tahu," ujarnya.
Oleh karena itu, pengawasan yang lebih ketat menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memastikan penyaluran bansos bisa berjalan dengan baik sehingga pemulihan daya beli masyarakat tidak berjalan lambat.