Bisnis.com, JAKARTA - Pemangku kepentingan sepakat penurunan tarif gas ke level US$6 per mmBTU dan perlindugan pasar domestik dengan penambahan bea masuk tindakan pengamanan membuat utilisasi industri keramik melonjak, bahkan saat pandemi berlangsung.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat utiiisasi industri keramik anjlok ke kisaran 45-50 persen karena pandemi Covid-19. Namun, angka tersebut naik kembali ke level 65 persen pada November 2020.
"Upaya pemerintah yang telah dilakukan tersebut, sangat mendongkrak pemulihan kinerja industri keramik nasional dan dirasakan juga manfaatnya dengan adanya peningkatan permintaan pasar dalam negeri maupun ekspor,” ujar Direktur Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam (Kemenperin) Adie Rochmanto Pandiangan dalam keterangan resmi, Minggu (6/12/2020).
Adie menilai industri keramik nasional telah memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memenuhi permintaan domestik. Walakin, Adie tetap mendorong pabrikan keramik untuk terus memproduksi keramik yang inovatif dan kompetitif dengan bantuan teknologi.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto menyatakn perbaikan utilisasi tersebut disebabkan oleh lonjakan permintaan ekspor. Menuruntya, performa ekspor pada 9 bulan pertama 2020 merupakan yang terbaik sejak 2016.
Asaki mendata nilai ekspor keramik nasional pada Januari-September 2020 naik 24 persen secara tahunan enjadi US$49,8 juta. Namun demikian, volume ekspor kermik naik lebih tinggi atau sebesar 29 persen menjadi 12,8 juta meter persegi.
Baca Juga
Industri keramik nasional secara umum memiliki lima negara tujuan ekspor, yakni Filipina, Malaysia, Taiwan, Thailand, dan Amerika Serikat. Lonjakan permintaan terbesar terjadi di pasar Amerika Serikat atau hingga 130 persen secara tahunan. Adapun, permintaan pasar Filipina juga melesat 60 persen, sedangkan pasar Taiwan naik sekitar 40 persen.
“Permintaan ekspor ke Amerika Serikat meningkat tajam untuk produk-produk keramik segmen premium, di mana beberapa anggota Asaki telah mengadopsi teknologi terkini dan tercanggih saat ini untuk memproduksi keramik big slab (ukuran jumbo) beserta produk-produk olahan lainnya yang memberikan nilai tambah,” katanya.
Edy menilai peningkatan permintaan keramik lokal di negara-negara tersubut disebabkan oleh kombinasi penurunan tarif gas dan pelonggaran protokol lockdown di negara tujuan. Edy menilai capaian tersebut membuktikan keahlian pabrikan lokal kompetitif dengan keramik besutan negara-negara Eropa maupun Amerika.
Edy menjelaskan penurunan tarif gas membuat harga jual pabrikan pun makin kompetitif. Menurutnya, harga jual keramik ekspor turun 6,25 persen secara tahunan dari US$4,16 per kilogram menjadi US$3,9 per kilogram.
"Jadi, secara in term of quality dan design meningkat, tetapi harga jual lebih murah. [Secara] whole package ini menarik sekali," ucapnya.
Oleh karena itu, Edy menargetkan volume keramik ekspor pada 2021 dapat tumbuh setidaknya 23 persen menjadi 21 juta m2 pada 2021. Pertumbuhan tersebut salah satunya disebabkan oleh perluasan negara utama tujuan ekspor pabrikan.
Edy berujar negara tersebut adalah Australia yang selama ini dikuasai oleh keramik asal Malaysia. Menurunya, Australia merupakan salah satu negara yang lepas akibat peningkatan tarif gas pada 2013.
Adapun, Australia kembali menduduki peringkat 8 pada daftar peringkat negara tujuan ekspor berdasarkan volume pada Januari-September 2020. Secara persentase, volume ekspor keramik ke Australia melesat 48 persen hingga kuartal III/2020. "Jadi, secara outlook-nya, kami sangat optimistis," ucapnya.