Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kerugian Perusahaan Pengolahan Kelapa Sawit di RI Bisa Tembus Rp141 T per Tahun

Dari total 687 perusahaan yang mengisi kuesioner Hutan CDP tahun 2020, sebagian besar perusahaan tersebut atau 78 persen mengidentifikasi sekurangnya satu risiko terkait hutan yang dapat memiliki dampak finansial.
Pekerja memanen kelapa sawit di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Pekerja memanen kelapa sawit di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Bisnis.com, JAKARTA – Kerugian fiskal dan risiko terkait hutan yang diperkirakan oleh perusahaan pengolahan minyak sawit di Indonesia meningkat dua kali lipat pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.

Hal ini diungkapkan oleh penelitian baru oleh CDP, suatu lembaga nonprofit yang bergerak di bidang lingkungan global.

Dari total 687 perusahaan yang mengisi kuesioner Hutan CDP tahun 2020, sebagian besar perusahaan tersebut atau 78 persen mengidentifikasi sekurangnya satu risiko terkait hutan yang dapat memiliki dampak finansial atau strategis mendasar bagi usaha yang mereka jalankan.

“Risiko usaha yang berkaitan dengan deforestasi bersifat signifikan karena nilai totalnya lebih dari US$10 miliar [Rp141 triliun],” tulis CDP dalam laporannya, Rabu (25/11/2020).

Dengan mempertimbangkan bahwa tidak sampai setengah dari perusahaan-perusahaan tersebut yang telah mengungkapkan informasi finansial, CDP mengungkapkan nilai ini mungkin masih di bawah potensi dampak yang sesungguhnya.

Namun biaya rata-rata untuk menanggapi mitigasi hanyalah 3 persen dari biaya yang berkemungkinan timbul dari risiko terkait.

Selain itu, risiko-risiko yang ada dapat berubah menjadi peluang. Dari 27 persen perusahaan yang memberikan informasi perkiraan keuangan, nilai peluang terkait hutan mencapai US$4,2 miliar di mana besar kemungkinan tercapainya US$1,3 miliar dari nilai tersebut.

Morgan Gillespy, Direktur Global CDP untuk Bidang Kehutanan, mengatakan cepatnya perusakan hutan tropis beserta komplikasi akibat-akibatnya adalah salah satu persoalan lingkungan yang paling urgent yang kita hadapi saat ini; akan tetapi kita tidak dapat merumuskan solusi yang efektif tanpa memahami sumber-sumber deforestasi dan pengukuran dampak yang jelas dan berbasis data.

Pengungkapan informasi secara mandiri dan sukarela serta transparansi tidak hanya berperan sangat penting dalam perlindungan lingkungan.

“Akan tetapi juga merupakan keharusan dalam dunia usaha bagi perusahaan-perusahaan yang hendak meningkatkan keunggulan kompetitifnya dan membangun ketahanan demi masa depan hutan yang positif,” ujarnya.

Dari laporan CDP, keberlanjutan adalah hal yang teramat penting dalam memberikan tingkat keyakinan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak mengambil produk minyak sawit dari kawasan-kawasan berisiko tinggi, sehingga hal ini menjadi suatu prasyarat bagi banyak kebijakan perusahaan tentang pembelian produk/bahan.

“Ada peningkatan jumlah perusahaan yang dapat melacak pasokannya hingga tingkat perkebunan, yakni dari 10 persen pada tahun 2018 menjadi 19 persen pada tahun 2020.”

Perusahaan-perusahaan tersebut menetapkan target yang ambisius dan menjadikannya panduan untuk mencapai ketertelusuran yang lebih baik.

Sayangnya, menurut CDP, perusahaan yang menargetkan untuk melacak 100 persen pasokannya hingga tingkat perkebunan selambatnya tahun 2020 belum mencapai sasaran ini.

Untuk menjembatani celah tersebut, perusahaan perlu mempertimbangkan tindakan semua pemangku kepentingan yang ada dalam rantai pasok minyak sawit.

Saat ini, CDP mencatat 26 persen perusahaan yang mengambil produk minyak sawit dari Indonesia tidak melibatkan pemasok langsung mereka dalam mengasah kemampuan memasok minyak sawit lestari, sementara 42 persen belum melibatkan petani untuk meningkatkan keberlanjutan pasokan.

Perusahaan-perusahaan yang mencoba menghilangkan deforestasi dari rantai nilainya selalu menginformasikan adanya kerumitan yang melekat dalam rantai pasok minyak sawit, di mana hal ini dianggap sebagai tantangan serius, sebagaimana dikutip dari 39 persen perusahaan pada tahun 2020.

Pendekatan Yurisdiksional merupakan perangkat yang menjanjikan dalam menyelesaikan tantangan tersebut karena bentuk pendekatan lanskap ini menyatukan semua pihak/pelaku terkait yang ada dalam batas politis dan administratif untuk membangun sasaran, menyelaraskan kegiatan, dan melakukan pemantauan dan verifikasi secara bersama-sama.

Partisipasi pemerintah secara yurisdiksional mengurangi risiko karena perusahaan cenderung mengikuti persyaratan peraturan yang akan diberlakukan.

Meskipun merupakan pendekatan yang sama sekali baru, ada beberapa pertanda awal yang positif bahwa petani menggunakan inisiatif ini bersamaan dengan perangkat sertifikasi untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pasokannya.

CDP mencatat sebanyak 8 persen dari perusahaan tersebut telah terlibat secara spesifik dalam bentuk Pendekatan Yurisdiksional, terutama melalui Pendekatan Yurisdiksional RSPO untuk Sertifikasi dan Produksi, Konservasi dan Pelibatan (Produce, Conserve and Include atau PCI). Kolaborasi yang demikian ini memiliki potensi sangat besar dalam menyatukan upaya-upaya lintas sektoral dalam rangka mengatasi deforestasi dan mengukur praktik-praktik keberlanjutan di Indonesia.

Pendekatan restorasi seperti lahan cadangan dan agroforestri, yang kerap kali mampu mengembalikan fungsi alami ekosistem, meningkatkan keanekaragaman hayati serta meningkatkan kemampuannya dalam menghasilkan jasa-jasa ekosistem yang penting akan melengkapi upaya-upaya untuk menghentikan deforestasi.

Sementara itu, sebanyak 50 persen perusahaan yang memproduksi, mengambil, atau menggunakan produk minyak sawit dari Indonesia mendukung atau melaksanakan inisiatif-inisiatif yang berfokus pada restorasi dan/atau perlindungan ekosistem di beberapa bagian dari operasinya di seluruh dunia – sebanyak 14 persen memberitahukan bahwa pihaknya melaksanakan atau mendukung 22 inisiatif secara spesifik di Indonesia di kawasan dengan luas total lebih dari 17,8 juta hektar.

Direktur CDP untuk Hong Kong, Asia Tenggara, Australia & Selandia Baru Pratima Divgi mengatakan peningkatan kerja sama dan pendekatan yang inovatif dan multipemangku kepentingan dibutuhkan untuk mendapatkan rantai nilai minyak sawit lestari di Indonesia dan kawasan-kawasan lain.

Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Gita Syahrani menilai kerja sama yang kuat antara pemangku kepentingan merupakan dasar bagi pelaporan perkembangan yang telah dicapai bersama beserta capaian keberlanjutan yurisdiksional, sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal/SDG) tingkat nasional.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper