Bisnis.com, JAKARTA — Harga sawit tahun depan diproyeksi menyentuh level US$700 per barel atau naik sekitar 7 persen—10 persen dari harga saat ini. Gap yang timbul antara pasokan dan permintaan menjadi indikator dari harga komoditas tersebut.
Juru Bicara Kementerian Perdagangan Fithra Faisal menilai bahwa permintaan pasar yang diperkirakan membaik tahun depan akan diiringi dengan penurunan produksi karena terdampak fenomena La Nina.
"Ini akan memicu gap antara pasokan dan permintaan. Sementara permintaan naik, suplai turun sehingga sudah pasti harga naik," ujar Fithra kepada Bisnis, Jumat (20/11/2020).
Baca Juga
Bahkan, dalam kondisi yang lebih ekstrim kenaikan bisa mencapai US$750 per barel, sangat bergantung pada kondisi cuaca dan permintaan.
Permintaan yang terjadi di pasar global diperkirakan naik karena didorong oleh faktor yang bersifat teknis. Kontraksi ekonomi yang terjadi karena pandemi disebut mendorong kemungkinan bouncing yang sangat tinggi.
Sementara itu, pasar dalam negeri diperkirakan turut mengalami pemulihan. Namun, progres pemulihan akan berjalan dengan lambat karena minat belanja domestik yang masih rendah, padahal tidak hanya CPO, tetapi harga produk-produk turunan lain dari kelapa sawit akan mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya permintaan.