Bisnis.com, JAKARTA – Industri petrokimia nasional masih belum mendapatkan penurunan tarif gas hingga ke level US$6 per mmBTU secara utuh.
Namun, penurunan tarif yang dirasakan oleh mayoritas pabrikan membuat rata-rata utilisasi pabrikan dapat bertahan di level 95 persen.
Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mendata baru 70 persen dari total pabrikan petrokimia yang mendapatkan tarif gas US$6 per mmBTU. Adapun, 50 persen dari pabrikan yang mendapatkan penurunan harga hanya berlaku bagi 50 persen dari total volume pada perjanjian jual-beli gas.
"[Yang sudah dapat penurunan tarif] sektar 70 persen, masih ada 30 persen lain yang belum dapat. Tapi, separuh [pabrikan yang dapat penurunan tarif] masih belum full. Jadi, mereka 50 persen tarif US$6 per mmBTU, 50 persen tarif US$9 per mmBTU," kata Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiyono kepada Bisnis, Rabu (25/11/2020).
Fajar menyatakan 35 persen dari total pabrikan petrokimia nasional masih mendapatkan tarif campuran lantaran tarif gas yang didapatkan distributor menggunakan tarif lama. Seperti diketahui, pemerintah mengamanatkan distributor gas untuk menurunkan tarif gas yang diterima pabrikan ke level US$6 per mmBTU pada tahun ini.
Di samping itu, Fajar menilai penurunan tarif gas yang mulai efektif dirasakan seabgian pabrik petrokima per Agustus 2020 telah membantu performa ekspor pabrikan. Fajar menyatakan rendahnya permintaan domestik memaksa pabrikan untuk mengalihkan alokasi produksi ke pasar ekspor.
Baca Juga
Adapun, penurunan tarif gas dinilai membuat produk petrokimia lokal berdaya saing di pasar global. Inaplas mendata utilisasi industri hilir plastik anjlok ke level 60 persen dari posisi awal 2020 di kisaran 90-100 persen. Tak jauh berbeda, laju pertumbuhan lapangan usaha industri hilir plastik merosot 12 persen per Juli-Agustus 2020.
"Ini bukan main-main. [Permintaan] saat Juni 2020 tertolong pasar Lebaran. Juli-Agustus minus 12 persen karena orang fokus ke pasar masuk sekolah, konsumsi yang lain harus turun," ucapnya.
Perbedaan karakter industri membuat utilisasi pabrikan hulu plastik tidak turun dan tetap berada di kisaran 90 persen. Pasalnya, industri hulu plastik melakukan produksi berdasarkan kontrak jangka panjang, sedangkan industri hilir plastik bergantung pada permintaan konsumen.
Dengan kata lain, gudang industri saat ini penuh oleh bahan baku plastik. Fajar menyampaikan untuk menghindari potensi kerugian mismatch, pabrikan hulu plastik mengandalkan pasar global agar tidak terjadi penumpukan.
Fajar mencatat negara tujuan ekspor pabrikan hulu plastik lokal baru mencapai beberapa negara di Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan China. Walakin, Fajar menyatakan strategi ekspor tersebut hanya dapat dilakukan dalam jangka pendek.
Saat ini, Fajar mengamati permintaan domestik mulai kembali terbentuk. Pada saat yang bersamaan, prosedur ekspor produk petrokimia ke beberapa negara, khususnya China, menjadi sulit.
"November ini permintaan lokal sudah mulai membaik. Kemudian, untuk ekspor terkendala masalah kontainer, sehingga untuk November-Desember kebanyakan [hasil produksi] untuk pasar lokal," ucapnya.