Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mendata industri kimia, farmasi, dan obat tradisional memiliki laju pertumbuhan paling tinggi pada kuartal III/2020 dibandingkan sektor manufaktur lainnya. Namun demikian, hal tersebut tidak mencerminkan industri kimia dasar.
Asosiasi Kimia Dasar Anorganik (Akida) mendata rata-rata utilisasi pabrikan kimia dasar masih di kisaran 40-60 persen pada Juli-September 2020. Selain itu, minimnya permintaan bahan baku produk kebersihan menjadi tantangan baru bagi pelaku industri.
"[Ketersediaan] alkohol di dalam negeri saat ini sedikit oversupply karena permintaan dadakan untuk hand sanitizer sudah berkurang. [Selain itu,] kebutuhan alkohol/etanol untuk [produksi] biofuel juga tidak sebanyak pada kondisi normal," kata Ketua Umum Akida Michael Susanto Pardi kepada Bisnis, Minggu (8/11/2020).
Michael menambahkan permintaan dari industri otomotif dan konstruksi bangunan yang notabenenya mengonsumsi banyak produk kimia dasar juga belum membaik. Oleh karena itu, pihaknya belum melihat adanya tanda-tanda perbaikan performa industri kimia dasar nasional.
Michael memproyeksikan bahwa tidak akan ada perubahan signifikan pada industri kimia dasar hingga akhir 2020. Walakin, Michael menilai penguatan rupiah pada awal November 2020 dapat menjadi sinyal positif pada 2021.
Michael meramalkan laju pertumbuhan industri kimia dasar dapat berada di kisaran 10-15 persen pada 2021. Namun demikian, pertumbuhan tersebut belum akan menutup penurunan performa sepanjang 2020.
"Kalau dari sisi output produksi, [industri kimia dasar tumbuh] minus 20-30 persen dibandingkan 2019. Tahun depan perkiraan kami belum bisa balik setinggi [20-30 persen]," ucapnya.
Sementara itu, Adapun tahun ini pemerintah masih optimistis pertumbuhan industri kimia, farmasi, dan tekstil pada angka 0,40 persen tahun ini dengan kontribusi mencapai 4,2 persen. Target ini sudah memperhitungkan perkembangan industri akibat dampak pandemi Covid-19.
Michael berpendapat saat ini yang paling diharapkan industri adalah terimplementasinya program substitusi impor yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo.
Pasalnya, dengan berbagai tekanan yang terjadi, industri kimia juga masih dibebani oleh banyaknya bahan baku dan produk jadi yang bisa diproduksi lokal tetapi masih impor.
Di sisi lain, adanya investasi dari luar negeri tentunya sangat disambut baik di indonesia, tetapi pemerintah juga perlu membantu industri yang sudah eksisting.
"Kadangkala kami berasa dilupakan karena pemerintah lebih fokus memberikan insentif dan support ke investor baru. Kami yang sudah existing, perlu juga didukung, dijaga dan diayomi," ujarnya.