Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan membanggakan neraca dagang Indonesia Januari-September 2020 yang mengalami surplus US$13,5 miliar meski pandemi menerjang. Rekor surplus ini bahkan tertinggi dalam 8 tahun terakhir.
Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto mengatakan bahwa kondisi ekspor lesu hanya terjadi pada Januari dan April. Akan tetapi sejak Mei hingga September mengalami peningkatan.
“Secara kumulatif neraca dagang pada Januari-September mengalami surplus US$13,5 miliar. Ini capaian tertinggi sejak 2012,” katanya pada konferensi virtual, Senin (9/11/2020).
Agus menjelaskan bahwa komoditas yang mempengaruhi ekspor berasal dari nonmigas. Barang-barang tersebut seperti bijih besi dan baja, minyak lemak dan minyak hewan nabati, kendaraan dan suku cadang, mesin dan perlengkapan elektronik, serta plastik dan barang plastik.
“Lima produk tersebut menyumbang 34,05 persen dari total ekspor non migas. Peningkatan kumulatif adalah US$0,7 miliar.
Agus menuturkan bahwa ekspor baja disebabkan mulai menggeliatkan industri di Cina dan Malaysia. Ekspor naik juga disebabkan naiknya harga minyak sawit mentah (CPO) dan permintaannya ke Cina dan India.
“Nah ini salah satu faktor yang memang sangat menopang kita. Pengaruh surplus ini sangat besar karena membawa sinyal positif,” ucapnya.
Meski pemerintah membanggakan surplus yang terus terjadi,dalam kesempatan terpisah Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan sejatinya kinerja ekspor masih mengalami tekanan sejak awal pandemi Covid-19.
Permintaan barang di negara tujuan utama seperti kawasan ASEAN tercatat turun sebesar 13,5 persen, sementara Uni Eropa ekspor ke Uni Eropa merosot 11,9 persen (yoy).
"Pelemahan kinerja ekspor yang konsisten terjadi akibat beberapa negara masih memberlakukan pengetatan mobilitas penduduknya, sementara kapasitas produksi industri skala menengah-besar juga menyesuaikan dengan melemahnya sisi permintaan. Tren pelemahan ekspor masih terjadi hingga tahun 2021," kata Bhima saat dihubungi Bisnis.
Sementara dari sisi impor, lanjutnya, yang perlu menjadi perhatian adalah penurunan impor barang konsumsi baik secara bulanan yang terkoreksi sebesar 6,12 persen, atau secara kumulatif minus 9,36 persen dari Januari-September 2020.
Penyebab utama menurunnya impor barang konsumsi karena masyarakat kelas menengah ke atas cenderung menunda belanja dan memperbanyak simpanan. Sementara meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi membuat daya beli kelas pekerja semakin turun.