Bisnis.com, JAKARTA - Obat modern asli Indonesia (OMAI) belum mendapatkan tempat di dunia farmasi Indonesia. Mayoritas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan menggunakan obat kimia yang bahan bakunya 95 persen diimpor.
Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro mengatakan ada beberapa faktor OMAI yang berbahan baku herbal asli Indonesia kalah pamor dengan obat kimia. Faktor utama karena dokter belum memberikan keberpihakan terhadap OMAI.
Dia menjelaskan dokter memiliki wewenang untuk menentukan obat yang dipakai pasiennya. Mayoritas dokter memberikan obat kimia dalam mengobati berbagai macam penyakit.
"Misal penyakit ginjal, dokter terbiasa pakai obat ginjal yang impor, maka kita harus punya strategi dokter mulai beralih ke firtofarmaka. Ini problem terbesar. Dokter belum berani atau terbiasa gunakan OMAI untuk pasiennya," ujarnya, Jumat (6/11/2020).
Selain itu, OMAI juga belum menjadi rujukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini tentu menyulitkan OMAI bersaing dengan obat berbahan baku impor.
Sejauh ini OMAI belum dapat dijadikan obat rujukan di JKN karena tidak tertuang di Permenkes No 54 Tahun 2018.
Baca Juga
Selama ini, OMAI hanya dijadikan pelengkap obat kimia. Padahal, pemanfaatan OMAI sejalan dengan Inpres No 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Obat dan Alat Kesehatan.
"Harus ada pemihakan ketegasan bahwa kita prioritaskan obat yang basisnya ada di negara kita sendiri. Kalau masuk JKN, saya yakin ini akan berkembang dan banyak pihak yang akan melakukan riset," tuturnya.
Selanjutnya, ada tahapan uji klinis yang tersendat. Bambang menyebut ada tahapan uji klinis di bawah kontrol Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang disebut Ethical Clearance (EC) atau kelayakan etik.
EC merupakan keterangan tertulis yang diberikan oleh komisi etik penelitian untuk riset yang melibatkan makhluk hidup yang menyatakan bahwa suatu proposal riset layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu.
"Kadang-kadang dokter debatnya lama sehingga uji klinis belum bisa dimulai, karena uji klinis baru bisa dimulai kalau sudah dapat ethical clearance dari rumah sakit dan dokter," jelasnya.
Faktor berikutnya yakni pelaku penelitian sendiri. Ia menyebutkan di universitas maupun lembaga sudah melakukan penelitian, ekstraksi, hingga pengembangan obat. Tetapi, yang harusnya terdepan dalam penelitian dan pengembangan (RnD) OMAI adalah perusahaan farmasi.
Oleh karena itu, dia berharap lebih banyak lagi perusahaan farmasi yang mau berinvestasi di bidang OMAI. Hal ini dkiakuinya dilematis karena perusahaan farmasi baru akan mengeluarkan biaya untuk RnD jika pasarnya sudah jelas
"Saya khawatir, nanti banyak bicara OMAI, begitu sampai implementasi, mandek karena yang mengusulkan dokernya, belum berani memakai karena di JKN belum ada, akhirnya perusahaan pikir dua kali kalau mau invest di bidang RnD OMAI. Ini lingkaran setan yang harus dicari terobosannya," tegasnya.