Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kontraksi Ekonomi Kuartal III Lebih Dalam dari Proyeksi, Stimulus PEN Tak Ampuh

Realisasi PEN sebesar Rp695,2 triliun baru terserap 52 persen dinilai tidak ampuh mendongkrak daya beli karena penyalurannya yang terlambat.
Sejumlah pedagang menunggu pembeli di Pasar Bandung Kimpling, Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (2/5/2020). Pemerintah Kota Tegal menata para pedagang di lima pasar dengan menerapkan jaga jarak 1 meter antarpedagang sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19. -ANTARA
Sejumlah pedagang menunggu pembeli di Pasar Bandung Kimpling, Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (2/5/2020). Pemerintah Kota Tegal menata para pedagang di lima pasar dengan menerapkan jaga jarak 1 meter antarpedagang sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19. -ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk domestik bruto Indonesia pada kuartal III/2020 minus 3,49 persen secara tahunan. Realisasi tersebut lebih dalam dari perkiraan pemerintah yang memprediksi antara minus 2,9 persen sampai minus 1 persen.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan, meski masih lebih baik dari kuartal II/2020 yaitu minus 5,32 persen, yang mengherankan adalah konsumsi rumah tangga masih lesu. Padahal stimulus sudah diberikan.

Melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN), pertumbuhan konsumsi rumah tangga minus 4,04 persen. Pada kuartal III/2019, lajunya 5,01 persen

“Ini menggambarkan bahwa stimulus pemerintah yang diberikan sedemikian besar dan untuk menjaga daya beli masyarakat itu tidak cukup ampuh memulihkan konsumsi rumah tangga. Padahal 57 persen ekonomi kita ditopang oleh konsumsi rumah tangga,” katanya saat dihubungi, Kamis (5/11/2020).

Abra menjelaskan bahwa ini berhubungan dengan stimulus pemerintah karena realisasi PEN sebesar Rp695,2 triliun baru terserap 52 persen. Artinya, daya beli tidak meningkat disebabkan terlambatnya sebaran itu.

Faktor lain yang membuat konsumsi rumah tangga turun adalah pendapatan yang menurun drastis. Ini wajar karena BPS mencatat ada 2,5 juta pengangguran. Sementara itu, pekerja yang mengalami pengurangan jam operasional sebanyak 24 juta.

Itu yang menyebabkan masyarakat masih khawatir berbelanja karena kondisi belum pasti. Bahkan yang masih bekerja cenderung menyimpan pendapatannya.

“Mereka khawatir dirumahkan. Khawatir perusahaan tutup. Dan semua pekerja kalangan menengah ke bawah akan punya pemikiran serupa,” jelasnya.

Jika tidak ada gebrakan, Abra menuturkan bahwa ini akan seperti arah jarum jam. Covid-19 yang membuat keyakinan masyarakat untuk belanjar turun membuat produktivitas dikurangi. Akhirnya terjadi rasionalisasi yaitu penyesuaian karyawan. Begitu terus berulang-ulang.

Untuk bisa menghentikannya, perlu ada intervensi negara. Belanja pemerintah harus digencarkan karena Abra melihat masih lambat. Cara tersebut akan meningkatkan suplai. Dari sisi menjaga daya beli, bantuan sosial (bansos) juga perlu dipercepat.

“Pemerintah juga perlu mempersiapkan tambahan bansos ke masyarakat yang terkena Covid-19, yaitu pengangguran dan pekerja yang jumlah jam kerja berkurang. Itu juga harus dipikir apakah harus menambah alokasi anggaran baik di tahun ini atau tahun depan,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper