Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Solikin M. Juhro

Rektor Bank Indonesia Institute

Solikin M. Juhro adalah Rektor Bank Indonesia Institute. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ini meraih gelar master dari University of Michigan dan University of Maryland, kemudian meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia.

Lihat artikel saya lainnya

Social Enterprise Menuju Arus Utama Bisnis

Social enterprise akan lebih kokoh jika dibiayai oleh masyarakat setempat, karena dengan demikian mereka akan ikut merasa memiliki dan ikut menjaga keberlanjutannya.
/Ilustrasi
/Ilustrasi

Bisnis berwawasan sosial bukanlah diskursus baru tetapi sekarang menemukan relevansinya. Pandemi Covid-19 telah berdampak besar dan mengubah banyak hal, seperti cara belajar, bekerja, bersosialisi, dan bahkan juga kegiatan ekonomi. Banyak industri terpukul, PHK tidak terhindarkan, dan jumlah penduduk miskin bertambah.

Di satu sisi kita sedang dipaksa berubah tetapi di sisi lain ini adalah peluang untuk mendesain kebaruan dengan menambal aneka kekurangan di masa lalu. Salah satunya adalah soal ketimpangan, yang merupakan anak kandung revolusi industri.

Pada Revolusi Industri pertama ketimpangan ini bahkan menimbulkan konflik yang keras di Eropa dan Amerika. Konflik ini ditengahi oleh kaum agamawan yang mengusung konsep keadilan, konsep yang kemudian juga disuarakan oleh para konsultan dan guru bisnis.

Dunia bisnis juga tidak tinggal diam. Sejak 1700-an sampai 1960-an banyak industriawan yang berusaha melakukan praktik balas budi melalui kegiatan filantropi. Namun setelah perang Vietnam, para investor saham mulai berteriak ‘jangan berinvestasi di industri pendukung perang’, yang berlanjut pada teriakan anti-tembakau dan anti-drug. Pada decade 1990 teriakan pada industri menjadi makin sistematis dengan munculnya konsep triple bottom line yang digagas John Elkington pada 1994.

Intinya adalah bahwa kegiatan bisnis perlu mengejar tiga sasaran sekaligus, yakni kesejahteraan masyarakat (people), kelestarian lingkungan (planet), dan keuntungan finansial (profit). Konsep ini kemudian dikembangkan oleh para guru sekolah bisnis, termasuk dua profesor Harvard University, Michael Porter and Mark Kramer dengan konsep creating shared value (CSV).

World Economic Forum pun ikut menggaungkan semangat ini hingga akhirnya menjadi semacam roh bagi lahirnya 17 sasaran Sustainable Development Goals (SDGs).

Gerakan itu disambut meriah oleh pelaku bisnis. Ada yang mengubah konsep filantropi dan corporate social responsibility (CSR) menjadi impact investing, seperti yang dilakukan Ford Foundation, Gates Foundation, dan MacArthur Foundation.

Di pasar modal juga muncul gerakan impact investing, yakni kampanye membeli saham dan obligasi sektor hijau atau yang berdampak sosial. Bank-bank investasi semacam JP Morgan dan Credit Suisse kemudian menawarkan portofolio impact investing.

Data dari Global Impact Investment Network (GIINS) menunjukkan, minat investasi ke bidang tersebut terus berkembang. Sejak 2017 hingga 2020 total investasi dunia di sektor impact tumbuh rata-rata 140% per tahun dari US$114 miliar menjadi US$715 miliar. Dana tersebut mengalir ke investasi hijau melalui pinjaman, penyertaan, saham, dan obligasi. World Economic Forum dan Morgan Stanley memperkirakan ada triliunan dolar yang siap diinvestasikan di sana.

World Giving Index mengatakan pada 2018 bahwa masyarakat Indonesia adalah orang yang paling murah hati sedunia. Hal ini sejalan dengan nilai hidup (values) kebanyakan orang Indonesia. Intinya, bagi orang Indonesia memberi adalah sebuah keutamaan, dan karena itu tidak pantas untuk ‘dibisniskan’.

Orang Indonesia membedakan dengan tegas antara memberi dan berbisnis. Banyak organisasi dan yayasan yang terjun dalam bidang lingkungan dan kemasyarakatan tetapi umumnya dalam bentuk kegiatan nirlaba.

Namun sejak dekade 1970, satu dua LSM mulai berpikir tentang keberlanjutan program, dan untuk itu mulai memikirkan revenue. Dan setelah era 2000 semakin banyak bisnis yang mengutamakan dampak (seperti Gojek, Bukalapak, dan Tokopedia) maupun kegiatan sosial yang dikelola dengan pendekatan bisnis (seperti Amartha, Du Anyam, 8 Villages, dan eFishery). Social enterprises tersebut jelas memberikan dampak sosial dan lingkungan, dan pada saat yang sama (bisa) mendatangkan keuntungan.

Pemerintah pun melihat keberadaan mereka, melihat potensinya, dan telah mengambil sejumlah langkah untuk mengembangkan model bisnis ini. Fakta itu menunjukkan bahwa di Indonesia responsible business sudah berhasil pada skala percontohan, sehingga tibalah saatnya untuk mengembangkannya dalam skala yang lebih masif.

Dalam kaitan itu ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan. Pertama perlunya kebijakan publik yang berpihak pada model bisnis ini. Misalnya dalam bentuk insentif perizinan, perpajakan, dan sebagainya. Insentif ini perlu agar social enterprise tidak diperlakukan sama dengan bisnis konvensional.

Kedua, perlu kerja sama semua pihak untuk mendorong kewirausahaan sosial. Pendidikan dan pelatihan sangat diperlukan untuk mendorong orang terjun dalam bidang tersebut serta untuk menjaga dan mengembangkan yang sudah ada. Ketiga, perlunya memobilisasi sumberdaya lokal.

Benar bahwa ada banyak dana asing yang bisa ditarik untuk kegiatan seperti ini. Namun social enterprise akan lebih kokoh jika dibiayai oleh masyarakat setempat, karena dengan demikian mereka akan ikut merasa memiliki dan ikut menjaga keberlanjutannya.

Keempat, perlu kolaborasi yang katalistis antara pemerintah, akademisi, dunia bisnis, masyarakat sipil, dan media untuk mengarusutamakan model bisnis ini. Semua perlu diajak masuk dalam kesadaran dan praktik baru bahwa sebaik-baiknya ekonomi, bisnis, dan industri adalah yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, lingkungan yang lestari, dan keuntungan perusahaan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Solikin M. Juhro
Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper