Bisnis.com, JAKARTA - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) menyisakan banyak pertanyaan. Tidak hanya proses pembahasan yang relatif cepat dan terkesan dipaksakan, sejumlah substansi dalam RUU Ciptaker juga dinilai merugikan pekerja dan bertentangan dengan prinsip ‘otonomi' setelah era Suharto.
Sejak awal digaungkan, pro-kontra keberadaan undang-undang yang disusun secara omnibus ini sudah kentara. Poin soal kewenangan perizinan, ketenagakerjaan, pengadaan lahan, hingga kewenangan pemerintah pusat yang terlalu mengintervensi kebijakan pemerintah daerah, memicu gelombang protes di sejumlah pelosok Tanah Air.
Menariknya, meski mendapat penolakan cukup luas bahkan dari dua fraksi di parlemen, pemerintah dan DPR berkukuh RUU Ciptaker harus disahkan. Pemerintah dan DPR seolah-olah sedang kejar setoran.
Baca Juga : Kepada Siapa UU Cipta Kerja Ditujukan? |
---|
Tengok saja, kejadian Sabtu (3/10/2020) malam yang sangat tidak lazim. Saat itu, Badan Legislatif menggelar rapat kerja saat weekend dan malam-malam untuk pula mengambil keputusan tingkat pertama. Suatu peristiwa diluar kebiasaan. Janggal.
Kejanggalan ini terjawab ketika DPR mempercepat rapat paripurna yang semula dijadwalkan pada Kamis (8/10/2020) menjadi Senin (5/10/2020).
“Tadi disepakati Badan Musyawarah (Bamus) karena laju covid-19 di DPR terus bertambah, maka penutupan masa sidang dipercepat,” kata Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi.
Akan tetapi, terlepas dari alasan covid-19, kasak-kusuk sejumlah tenaga ahli di DPR, motif pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR yang ingin pembahasan cepat kelar, juga dilandasi motivasi untuk menghindari ancaman demo dari aliansi masyarakat sipil dan buruh.
Pemerintah danDPR menganggap semakin cepat UU Ciptaker disahkan, polemik akan segera selesai dan semakin cepat pula proses memperkuat fondasi ekonomi. Yang jelas, melalui perubahan tata perizinan yang disentralisasi ke pemerintah pusat; sistem ketenagakerjaan yang memberikan banyak kelonggaran; hingga perpajakan yang banyak mendapat relaksasi dari sisi tarif, sanksi, dan denda; ekonomi diharapkan akan dapat melejit.
Sidang Paripurna DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020/2021 / Youtube DPR RI
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat paripurna, bahkan sesumbar pengesahan UU yang penuh kontroversi ini akan mendorong perekonomian nasional.
Sementara itu, jika merujuk ke pernyataanya beberapa hari sebelum pengesahan, UU Ciptaker akan memberikan 5 manfaat bagi perekonomian. Pertama, penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 - 3 juta per tahun (meningkat dari saat ini 2 juta per tahun), untuk menampung 9,29 juta orang yang tidak/belum bekerja (7,05 juta pengangguran dan 2,24 juta angkatan kerja baru).
Kedua, peningkatan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan pekerja. Ketiga, peningkatan produktivitas pekerja, yang berpengaruh pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Produktivitas Indonesia (74,4%) masih berada di bawah rata-rata negara ASEAN (78,2%).
Keempat, peningkatan investasi sebesar 6,6% - 7,0%, untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha existing yang akan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan pekerja sehingga akan mendorong peningkatan konsumsi (5,4% - 5,6%).
Kelima, pemberdayaan UMKM dan Koperasi, yang mendukung peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 65% dan peningkatan kontribusi Koperasi terhadap PDB menjadi 5,5%.
Simalakama
Namun bagi masyarakat luas terutama para buruh, RUU ini bisa seperti buah simalakama. Pengesahan UU Ciptaker semakin membenamkan nasib buruh yang saat ini sedang berjibaku dengan ancaman PHK sebagai imbas pandemi Covid-19.
UU Ciptaker, kalau kata Presiden KSPI Said Iqbal, hanya menguntungkan pengusaha, sementara kesejahteraan pekerja juga menjadi taruhan. Soal penentuan upah minimum provinsi (UMP), misalnya, formulasi upah minimum mengacu pada variabel ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi maupun inflasi.
Baca Juga : UU Cipta Kerja, Mimpi Buruk Kaum Buruh! |
---|
Kesepakatan semula, frasa yang digunakan Panja Baleg maupun pemerintah, adalah UMP dihitung dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Artinya jika pertumbuhan ekonomi Indonesia normalnya berada di angka 5% dan inflasi di kisaran 3%, besaran penyesuaian upah minimum yang bisa diterima buruh berada di kisaran 8%.
Namun, dalam pembahasan terakhir, pemerintah justru menginginkan kata "dan" dalam klausul penentuan UMP diubah menjadi "atau". Ketentuan ini memberikan ruang kepada penentu kebijakan pengupahan untuk memilih pertumbuhan ekonomi atau inflasi dalam menentukan besaran upah minimum provinsi.
Walhasil, dalam rezim pengupahan yang baru, besaran UMP hanya berada di kisaran 3% - 5%. Nasib serupa juga berlaku bagi pekerja yang terkena PHK. Uang pesangon yang mereka terima hanya 25 kali gaji. Padahal, jumlah pesangon dalam aturan sebelumnya sebanyak 32 kali gaji.
Massa melakukan aksi menolak UU Cipta Kerja di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, Kota Bandung, Selasa (6-10-2020). - Antara
Catatan lain di luar konteks ketenagakerjaan yang cukup menarik adalah masuknya revisi sejumlah substansi dalam empat undang-undang terkait perpajakan.
Pembahasan substansi empat beleid ini seperti siluman, tak pernah disampaikan kepada publik namun tiba-tiba ada dalam salah satu klaster di UU Ciptaker. Pembahasan klaster perpajakan juga sangat berbeda dengan pembahasan klaster-klaster lainnya yang dibuka secara umum oleh pemerintah maupun DPR.
Keempat UU yang dimaksud adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Melalui revisi substansi empat aturan ini, pengusaha dapat bernafas lega, karena mereka mendapat relaksasi dari sisi tarif, mekanisne pengkreditan pajak, sanksi administratif, hingga imbalan bunga.
Meski demikian, revisi empat beleid tersebut, juga berpotensi mengubah hubungan pusat dan daerah, terutama melalui revisi substansi UU PDRD. Substansi UU Ciptaker memberi kewenangan pemerintah pusat dalam mengintervensi kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan oleh pemda.
Intervensi pemerintah pusat mencakup kewenangan mengubah tarif pajak dan tarif retribusi dengan penetapan tarif pajak dan tarif retribusi serta kewenangan pengawasan dan evaluasi terhadap peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
Tak hanya itu, UU Ciptaker juga memberikan kewenangan Menteri Keuangan, sebagai otoritas fiskal untuk mengevaluasi kebijakan politik pemerintah daerah. Kebijakan politik yang dimaksud terkait rancangan peraturan daerah (raperda) pajak atau retribusi.
Kewenangan yang terlampau luas pemerintah pusat ini berpotensi menganggu hubungan pusat dan daerah yang dijamin prinsip-prinsip pemerintah daerah. Superioritas pemerintah pusat juga tidak sesuai dengan UU Tentang Pemeruntahan Daerah.
Apalagi salah satu bunyi pasal tentang UU Pemerintahan Daerah adalah pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah, dengan harapan pemberian otonomi ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah bisa segera terealisasi.
Namun setelah hampir 15 tahun berjalan, komitmen desentralisasi dan otonomi yang lahir dari pemikiran para reformis mulai dipreteli dengan keberadaan UU Ciptaker. Kebijakan negara mulai mengarah ke sentralistik.
Di sisi lain, pemasungan kewenangan daerah ini juga bertentangan dengan keinginan pemerintah pusat untuk menciptakan kemandirian fiskal di setiap daerah.
Jika itu terjadi, selamat tinggal desentralisasi, dan selamat datang rezim Neo-Sentralistik. "Ini melawan semangat reformasi kita," tukas pengamat pajak CITA Fajry Akbar.