Bisnis.com, JAKARTA -- Tuntasnya pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan di Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dinilai akan mengundang sejumlah masalah baru.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Timboel Siregar, penuntasan pembahasan aturan tersebut masih menyisakan beberapa pasal yang belum bisa diterima oleh kalangan pekerja sampai dengan saat ini.
Pasal-pasal yang dianggapnya bermasalah antara lain pasal 59 terkait dengan pekerja untuk waktu tertentu atau kontrak serta penyerahan pasal 66 dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terkait dengan tenaga alih daya kepada eksekutif lewat Peraturan Pemerintah (PP).
"Soal tenaga alih daya, pasal 66 tetap tapi nanti ketentuannya diserahkan ke PP. Menurut saya itu tidak tepat. Kenapa ketentuan di undang-undang dengan sifatnya yang mengikat dan memiliki kepastian bahwa regulasi operasional PP mengacu kepada ketentuan itu, bukan sebaliknya, malah direduksi ke PP?" kata Timboel kepada Bisnis, Senin (28/9/2020).
Dia menilai kewenangan yang nanti dimiliki oleh lembaga eksekutif akibat reduksi Pasal 66 ke dalam PP bakal merugikan buruh. Subjektivitas yang dimiliki oleh lembaga eksekutif dianggap membuat kontrol terhadap perlindungan hak-hak pekerja menjadi dipertanyakan.
Menurutnya, reduksi pasal 66 ke dalam PP berpotensi menimbulkan multiinterpretasi sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
Baca Juga
Kemudian, urusan pekerja untuk waktu tertentu atau kontrak di pasal 59 UU Ketenagakerjaan juga berpotensi bermasalah. Timboel berpendapat, penghapusan pasal tersebut di RUU Cipta Kerja memungkinkan dilakukannya kontrak seumur hidup bagi pekerja.
Pengusaha pun, lanjutnya, cenderung tidak berpikir untuk jangka panjang. Yang penting disahkan dulu. Risikonya seperti apa nanti dipikirkan lagi. Seharusnya pengusaha juga melihat ada risiko yang dihadapi perusahaan," kata Timboel.
Terlebih, RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dinilai bakal mengurangi perlindungan terhadap hak para pekerja.
Selain itu, penghapusan pasal 59 dan reduksi pasal 66 ke dalam PP merupakan logika besar kalangan pekerja atas penolakan keras yang mereka dilakukan terhadap RUU Ciptaker.
"Buruh akan terus bergerak. Akan terjadi protes-protes. Jika terjadi demonstrasi, itu sudah menjadi konsekuensi logis," tegas Timboel.