Bisnis.com, JAKARTA – Pandemi Covid-19 membuat pengusaha properti residensial yang berada di segmen kalangan menengah dan bawah mengalami kolaps.
Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan kondisi saat ini membuat cashflow terganggu baik para pengembang besar, pengembang menengah, maupun pengembang kecil.
"Ada yang kolaps, kondisi saat ini membuat cashflow sulit. Ini perlu menjadi perhatian pemerintah karena sektor properti penggerak ekonomi," ujarnya dalam diskusi media secara daring pada Kamis (17/9/2020).
Menurutnya, kebijakan pemerintah melalui perbankan sudah sangat positif dalam hal pengajuan restrukturisasi. Namun, kenyataan di lapangan, restrukturisasi tercatat dalam kolektibilitas sehingga nantinya pengembang sulit mengajukan kredit.
"Sebut Bank Mandiri, BCA dan lainnya, restrukturisasi itu masuk dalam kolektibilitas, mestinya enggak begitu, ini kan restrukturisasi karena Covid-19," katanya.
Dia juga mengeluhkan waktu masa tunggu pengajuan restrukturisasi ini disetujui atau tidak sangatlah lama.
Baca Juga
Contohnya, mencontohkan pengajuan restrukturisasi kredit dilakukan pada Maret, baru disetujui pada Juni. Meskipun disetujui, pengembang diminta membayar kredit dari Maret hingga Juni atau pada saat waktu masa tunggu tersebut.
"Perusahaannya tutup, gimana mau bayar kredit? Sedangkan karyawan enggak bisa di-layoff. Ini yang perlu diperhatikan. Covid ini musibah bersama, kami tidak minta penghapusan bunga atau kredit, kami hanya minta penundaan pembayaran," kata Totok.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia Junaidi Abdillah menuturkan para anggota Appersi tengah mengalami tergerusnya margin dan modal karena pandemi Covid-19 yang belum usai. "Untuk pengembamg kolaps memang sudah ada."
Dalam 2 bulan terakhir, ungkapnya, memang terdapat peningkatan permintaan hunian masyarakat. Hal ini dikarenakan pada saat PSBB jilid pertama, permintaan tersebut tertahan dan direalisasikan saat PSBB transisi. Saat ini adanya PSBB pun menyebabkan tertahannya permintaan.
Dia berharap pemerintah dapat memberikan stimulus kepada pengembang untuk dapat mempertahankan hidup saja. "Harapan kita perbankan stimulus penting karena memang bertahan hidup pengembang sudah bagus. Di lapangan jual diskon besaran ini tidak terjadi minat di lapangan."
Junaidi juga tidak menampik resturkturisasi kredit bank akan masuk dalam kolektibilitas, sehingga nantinya sulit berutang kembali karena catatan tersebut.
CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menuturkan daya tahan pengembang hanya 3 sampai 6 bulan dari Maret saat PSBB mulai dilaksanakan. Saat ini kondisi pengembang menengah ke bawah sangat mengkhawatirkan. “Akan terjadi seleksi alam siapa yang kuat dan bertahan."
Dia membenarkan proses disetujui atau tidak restrukturisasi pengembang kepada perbankan sangat lambat di lapangan. Perbankan memerlukan waktu lama, padahal ekonomi tetap berjalan dan akibatnya, cashflow pengembang makin tipis.
"Jangan sampai restrukturisasi disetujui perusahaannya sudah kolaps. Ini yang terjadi. Yang perlu diselamatkan itu pengembangnya, sedangkan konsumen masih ada daya beli," tuturnya.
Semestinya, menurut Ali, proses restrukturisasi kredit yang diajukan pengembang dapat dipercepat. Perhitungan perbankan untuk memberikan restrukturisasi itu sangat ketat.
"Jangan sampai terlambat baru dibuka dorong terus restrukturisasi, keringanan bunga dilakukan. Bank harus tanda kutip dipaksa turunkan bunga," kata Ali.
Stimulus kepada pengembang properti dope4lukan agar bisa bertahan dan menjaga cashflow. Namun demikian, dia berharap agar restrukturisasi ini tak digunakan penumpang gelap atau perusahaan properti yang memang sudah kolaps sebelum pandemi.
"Ada perusahaan 2 tahun proyeknya enggak bagus dan enggak mampu bayar ke bank, tiba-tiba mengajukan restrukturisasi karena Covid. Bank ketatnya di situ. Ini yang harus dijaga," ucapnya.