Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Agus Herta Sumarto

Peneliti di Indef

Agus Herta Sumarto adalah peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Dia juga menjadi dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Mercu Buana Jakarta

Lihat artikel saya lainnya

Inflasi Rendah Cermin Kegagalan Pacu Pertumbuhan Ekonomi

Rendahnya inflasi bukan hasil dari skenario dan desain pembangunan yang terorganisasi. Ini jusrtru mengindikasikan bahwa pemerintah mengalami kesulitan dalam mengendalikan dan menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional.
Inflasi selama Agustus 2020
Inflasi selama Agustus 2020

Pengendalian inflasi menjadi salah satu capaian prestasi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun tingkat inflasi di Indonesia selalu berada di bawah 4,0%. Pada 2015 sebagai tahun awal masa pemerintahan Jokowi, tingkat inflasi tercatat hanya 3,35%, padahal pada tahun sebelumnya mencapai 8,36%.

Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintahan Jokowi berhasil mengendalikan inflasi yang selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung tinggi.

Rendahnya inflasi sepanjang pemerintahan Jokowi menjadi pertanda bahwa pola pembangunan ekonomi mulai berubah. Lebih menitikberatkan arah pembangunan ekonomi Indonesia pada pemerataan pendapatan. Adapun pada masa pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono, perekonomian diarahkan untuk mencapai titik pertumbuhan yang optimal dengan tingkat inflasi yang relatif besar.

Pemerintahan SBY mencoba menciptakan margin positif dari selisih antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi dengan harapan pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan dan mendorong kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik. Kesejahteraan yang ditimbulkan dari pertumbuhan ekonomi diharapkan masih lebih besar dari terkikisnya daya beli akibat inflasi.

Hal sebaliknya terjadi pada pemerintahan Jokowi, baik Jokowi-JK maupun Jokowi-Amin. Pemerintahan Jokowi lebih menitikberatkan pembangunan ekonomi pada pemerataan pendapatan dan pemerataan tingkat kesejahteraan.

Pada pola ini fokus utama pembangunan adalah pengendalian harga guna mempertahankan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Dengan kata lain, pola pembangunan Jokowi akan cenderung mempertahankan tingkat inflasi pada level yang rendah dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah juga.

Oleh karena itu, sangat bisa dipahami jika pertumbuhan ekonomi sepanjang pemerintahan Jokowi cenderung rendah, hampir tidak mau bergerak dari level 5%. Di sisi lain tingkat inflasipun cenderung rendah.

Dinamika pertumbuhan ekonomi dan inflasi ini ibarat dua hal yang tidak bisa dipisahkan sebagaimana dijelaskan dalam teori ilmu ekonomi melalui Kurva Philip. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mengakibatkan inflasi juga tinggi. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang rendah akan menciptakan inflasi yang juga rendah.

Dengan adanya hukum kausalitas dan trade-off ekonomi antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi ini, pola pembangunan ekonomi akan sangat dipengaruhi oleh mazhab atau orientasi pembangunan dari pemimpinnya.

Terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan oleh pemerintahan Jokowi saat ini. Inflasi yang rendah memang bisa menjaga daya beli masyarakat. Namun jika selisih antara bertambahnya kesejahteraan karena pertumbuhan ekonomi lebih kecil dari berkurangnya daya beli akibat inflasi maka bisa dipastikan secara agregat tingkat kesejahteraan masyarakat akan berkurang.

Dengan kata lain, menjaga daya beli masyarakat dengan menahan laju inflasi serendah mungkin menjadi hal yang sia-sia. Fenomena rendahnya inflasi saat ini terjadi ketika produktivitas ekonomi Indonesia sedang mengalami penurunan. Pada masa pemerintahan Jokowi, neraca perdagangan Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup tinggi.

Bahkan pada 2018, defisit neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit terburuk dalam sejarah perekonomian nasional, yaitu mencapai negatif US$8,7 miliar. Padahal sejak merdeka, defisit neraca perdagangan tidak pernah mencapai angka US$8 miliar. Defisit ini terus berlanjut sampai dengan 2019 meski lebih kecil (US$3,2 miliar).

Defisitnya neraca perdagangan Indonesia menjadi catatan khusus bagi sektor industri dan konsumsi. Kinerja ekspor yang masih di bawah perkembangan impor bisa menunjukkan dua hal, yaitu sektor industri belum bisa menembus pasar global atau bisa juga disebabkan oleh perkembangan dan kenaikan impor yang tinggi.

Kenaikan impor yang disebabkan oleh naiknya konsumsi terhadap barang jadi berkaitan dengan selera konsumen. Biasanya ada dua alasan utama kenapa masyarakat Indonesia lebih memilih menggunakan barang-barang impor, yaitu faktor harga yang lebih murah atau kualitas yang lebih baik.

Penyebab lain dari defisitnya neraca perdagangan juga bisa dibebabkan karena barang-barang yang berorientasi ekspor belum mampu bersaing dengan produk-produk luar.

Neraca perdagangan yang defisit ini menimbulkan efek domino yang cukup besar. Defisit ini mengakibatkan sistem ketahanan keuangan Indonesia menjadi rapuh. Akibat ekspor yang rendah maka cadangan devisa Indonesia juga mengalami stagnasi cukup parah.

Selama ini rata-rata cadangan devisa Indonesia berfluktuasi di kisaran US$120 miliar, sehingga kemampuan Bank Indonesia (BI) dalam mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ketika terjadi goncangan dari luar sangat terbatas. Alhasil efektivitas operasi pasar yang dilakukan BI kerap tidak begitu terasa.

Pada Juli 2020, cadangan devisa Indonesia menembus US$135,08 miliar, angka tertinggi setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Cadangan devisa tersebut setara dengan 9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional yaitu sekitar 3 bulan impor.

Namun meski masuk kategori aman, kenaikan cadangan devisa tersebut bukan disebabkan karena produktivitas perekonomian Indonesia meningkat, melainkan karena roda perekonomian tidak berjalan, sehingga konsumsi barang-barang impor menurun drastis. Ketika perekonomian sudah berjalan normal kembali, bisa dipastikan cadangan devisa akan kembali turun seiring dengan meningkatnya impor barang konsumsi dan bahan baku industri.

Dengan melihat kondisi fundamental ekonomi saat ini, bisa disimpulkan bahwa efek positif dari terjaganya inflasi jauh lebih rendah daripada efek positif dari pertumbuhan ekonomi. Rendahnya inflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini bukan hasil dari skenario dan desain pembangunan yang terorganisasi.

Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah mengalami kesulitan dalam mengendalikan dan menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya berusaha mengembalikan tingkat inflasi pada tingkat normalnya dengan terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih tinggi.

Saat ini Indonesia lebih membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi daripada stabilitas harga. Dibutuhkan penciptaan lapangan kerja baru dan tambahan pendapatan dimana kedua hal tersebut hanya bisa diperoleh melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper