Bisnis.com, JAKARTA -- Naiknya harga tetes tebu (molases) diperkirakan terjadi lantaran produksi yang menurun mengikuti tren produksi tebu. Pada saat yang sama, permintaan molases di dalam negeri cenderung berkembang.
“Produksi tebu di Indonesia trennya turun, jika demikian produksi molases juga akan turun. Sedangkan permintaannya relatif konstan atau bahkan berkembang,” ujar ekonom pertanian yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Agus Pakpahan ketika dihubungi, Rabu (9/9/2020).
Dia pun menduga berkurangnya kompetisi di lapangan akibat pemberlakuan sistem beli putus antara pabrik gula dan petani tebu memicu fluktuasi harga di lapangan. Hal ini mengakibatkan struktur pasar berubah lantaran petani tak perlu turut menjual gula atau molases sebagaimana berlaku dalam sistem bagi hasil.
Baca Juga
“Dengan sistem bagi hasil sebelumnya di pasar ada pabrik dan petani, ada kompetisi. Dengan penerapan beli putus yang lebih luas, maka kompetisi akan berkurang dan pasar dikuasai oleh beberapa pemain saja,” lanjut Agus.
Hal ini pun dibenarkan Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat. Dalam sistem bagi hasil, pendapatan yang diterima oleh petani mencakup nilai 3 kilogram molases dari setiap 1 kuintal tebu yang digiling. Sementara dalam sistem beli putus, semua molases menjadi milik pabrik yang membeli tebu.
“Sementara untuk tata niaga, perlu dievaluasi terlebih dahulu berapa produksi dan kebutuhan di dalam negeri, bagaimana pemenuhannya jika terjadi kekurangan. Faktor tersebut yang harus menjadi pertimbangan,” kata Budi.